Analisis Ina ni Surat (Induk Surat)
[dropcap2]A[/dropcap2]hli bahasa termasyur, dan ahli bahasa Batak Herman Neubronner van der Tuuk berpendapat bahwa perkembangan aksara Batak terjadi dari selatan ke utara, dan bahwa daerah asalnya adalah Mandailing (Tuuk 1971:77). Parkin (1978:100) juga berpendapat demikian karena alasan-alasan berikut:Aksara Nya, Wa dan Ya melambangkan tiga bunyi yang terda pat dalam bahasa Mandailing sementara dalam bahasa Toba tidak ada bunyi [ny], [w], atau [y]. Dengan demikian ketiga huruf tersebut sebenarnya mubazir karena tidak terdapat bunyinya dalam bahasa Toba. Sebagai contoh, Mandailing sayur menjadi saur di Toba, manyurat menjadi manurat. Pada bahasa Pakpak dan Karo tidak ada bunyi [ny] dan juga tidak ada aksara Nya. Keberadaan Nya di aksara Toba membuktikan bahwa aksara Toba berasal dari Mandailing.
Argumentasi Parkin sangat masuk akal. Sekiranya aksara Batak mula-mula tercipta di Toba, tak mungkin ada huruf Nya, karena tidak ada bunyi itu dalam bahasa Toba. Di Tanah Karo – daerah yang paling utara letaknya, huruf (yang di selatan berbunyi Nya) berubah maknanya menjadi Ca. Ternyata urutan dalam abjadnya tetap sama dengan posisi Nya ialah antara La dan I. Dengan demikian, huruf menunjukkan bahwa perkembangan aksara Batak terjadi dari selatan ke utara: dari Mandailing ke Toba, Simalungun, dan baru sesudahnya ke Pakpak dan ke Karo. Teori tersebut juga didukung oleh faktor-faktor lainnya:
Keragaman dalam varian-varian aksara paling besar di Mandailing, disusul oleh Toba dan Karo. Keragaman sering menunjukkan ketuaan – kecuali ada faktor lain yang menyebabkan keragaman tersebut. Keragaman di Karo misalnya disebabkan bukan oleh ketuaan melainkan oleh adanya perkembangan-perkembangan yang relatif baru seperti variasi yang ada pada huruf Sa, Da, dan Ca, dan terutama karena adanya sejumlah aksara baru seperti ketiga varian Mba , dan serta kedua varian Nda ( dan ). Semua varian tersebut merupakan perkembangan baru dan tidak ada di daerah Batak lainnya.
Huruf Ma memiliki berbagai varian di Toba dan Angkola-Mandailing: , , dan , sementara di Pakpak, Karo dan Simalungun masing-masing hanya ada satu bentuk saja. Di antara ketiga varian tadi, bentuk biasa digunakan di Angkola dan Mandailing, tetapi agak jarang digunakan di Toba yang lebih cenderung memakai dan . Keragaman dalam varian-varian aksara di Toba, dan khususnya di Mandailing menunjuk pada usia tinggi tulisan di daerah itu. Sebagai contoh akan saya mengemukakan dua aksara, yakni Na dan Ja.
Sebagaimana telah ditunjuk di atas, bentuk Na dalam aksara Kawi (perlu dicatat bahwa “Kawi” tidak sama dengan Jawa Kuno melainkan juga termasuk aksara Sumatra Kuno) sangat mirip dengan varian yang terdapat di Mandailing dan di Toba. Hal ini tidak berarti bahwa aksara Batak berasal dari aksara Kawi, melainkan menunjukkan bahwa kedua aksara tersebut masih mempunyai nenek moyang yang sama atau bahwa terdapat pengaruh Kawi pada sejarah perkembangan aksara Batak purba. Keberadaan varian yang oleh Voorhoeve disebut “Na kuno” di Mandailing dan Toba juga menunjukkan bahwa aksara Batak berkembang dari selatan ke utara.
Bentuk aksara Ja () sama dengan aksara Da () yang ditambah sebuah garis horisontal. Hal yang sama juga berlaku untuk Da dan Ja pada aksara Kawi, tetapi bukan pada aksara Palawa sehingga dapat disimpulkan bahwa pada tahap awal perkembangan aksara Batak mesti ada pengaruh Kawi. Aksara kemudian disederhanakan sehingga di daerah utara dari Toba hanya bentuk yang ada.
Bila kita perbandingkan kedua aksara selatan (Angkola-Mandailing dan Toba), ternyata hanya terdapat sedikit perbedaan saja. Aksara Toba kehilangan beberapa varian dari aksara Sa dan Ha, tetapi di daerah Toba juga terjadi perkembangan baru dengan memperkenalkan varian Ta () dan varian Wa (). Namun tidak tertutup pula kemungkinan bahwa dan adalah bentuk yang lebih lama yang di Mandailing dan di sebagian Toba kemudian berubah menjadi varian Ta () dan varian Wa ()!
Bertolak pada anggapan bahwa dan merupakan bentuk yang lebih lama, dan dan perkembangan baru, maka kedua varian dan kemudian bersebar ke arah utara ke Pakpak-Dairi () dan Karo (). Mesti diakui bahwa secara teoretis terdapat kemungkinan bahwa varian merupakan perkembangan baru di Pakpak-Dairi yang kemudian bersebar ke selatan untuk selanjutnya digunakan di sebagian daerah Toba. Akan tetapi kemungkinan tersebut hanya kecil saja. Sebagaimana akan ditunjukkan nanti, terlalu banyak indikasi bahwa perkembangan aksara Batak adalah dari selatan ke utara dan bukan sebaliknya.
Suatu hal yang perlu dicatat di sini adalah bahwa aksara Simalungun memiliki beberapa persamaan dengan Mandailing. Misalnya varian Sa, dan , dan juga varian Ha (yang sangat mirip dengan varian-varian Angkola-Mandailing dan ) terdapat di Mandailing dan di Simalungun, tetapi tidak di Toba. Hal itu menunjukkan bahwa ada kemungkinan besar bahwa sudah sangat dini aksara Batak dari Mandailing masuk ke Simalungun. Bentuk huruf Ya dengan garis horisontal yang melengkung juga menunjukkan pengaruh Mandailing. Menurut Van der Tuuk, kedua varian Toba untuk huruf Ta dan Wa dipakai di “Toba Timur”, sedangkan varian dan dipakai di daerah “Toba Barat”. Sayang Van der Tuuk tidak menjelaskan daerah mana yang dimaksud dengan Toba Barat dan Toba Timur, tetapi kalau Van der Tuuk benar, dapat kita tarik kesimpulan sebagai berikut:
Aksara Batak mula-mula berkembang di daerah Angkola-Mandailing, barangkali tidak jauh dari perbatasan Sumatra Barat. Dari sana aksara Batak tersebar arah ke utara sehingga terbentuk sebuah aksara purba Toba-Timur–Simalungun (kemudian disebut Toba-Simalungun) di dareah antara Parapat dan Balige yang subur dan padat penduduk. Aksara Simalungun kemudian tidak menunjukkan perkembangan yang berarti, tetapi berubah sedikit bentuknya sehingga semua aksara kelihatan seperti terdiri dari garis-garis yang terpisah-pisah sebagaimana kelihatan sekali pada huruf Ma dan Ra.
Aksara purba Toba-Simalungun menurunkan dua jenis huruf: Toba Timur yang menggunakan Ta dan Wa selatan: , dan , dan Toba Barat yang menggunakan Ta dan Wa utara: dan . Bentuk utara ini dapat dianggap sebagai perkembangan kemudian yang masuk dari Toba Barat ke Pakpak-Dairi ( dan ) dan Karo (hanya ). Perlu ditegaskan di sini bahwa tidak ada garis pasti antara ‘Toba Timur’ dan ‘Toba Barat’. Naskah yang dapat dipastikan daerah asalnya terlalu sedikit. Lagi pula, bentuk huruf mana yang dipakai oleh salah seorang juga sangat tergantung pada gurunya. Sifat datu yang suka mengembara turut mengaburkan batas-batas antara daerah.
Daerah Karo dapat dipastikan sebagai daerah yang paling belakangan menerima aksara Batak. Tetapi justru di daerah ini, tulisannya berkembang sangat subur. Ratusan naskah Karo yang tersimpan di berbagai koleksi di mancanegara membuktikan bahwa bukan saja para datu (di Karo disebut guru) bisa membaca dan menulis. Di situ juga banyak terdapat pulas – semacam surat kaleng yang di daerah Karo juga terkenal sebagai musuh běrngi (musuh di malam hari). Tetapi bukti yang paling kuat bahwa aksara Batak cukup umum diketahui oleh para pria Karo adalah kebiasaan menulis ratapan percintaan (bilang-bilang) di ruas-ruas bambu. Barangkali justru karena surat Batak di Karo menjadi demikian populer, maka terjadi perkembangan-perkembangan yang baru seperti dibuktikan oleh huruf Mba dan Nda yang khas Karo.
[Untuk melanjutkan uraian kami tentang sejarah aksara Batak, silakan pilih “Anak ni Surat” pada menu di atas.]