Publikasi “Utusan Damai di Kemelut Perang: Peran Zending dalam Perang Toba” menyorot peran penginjil Jerman dari RMG (cikal bakal VEM), terutama Ludwig Ingwer Nommensen, dalam Perang Batak Toba Pertama. Pada tahun 1877 para missionaris RMG memanggil tentara pemerintah kolonial Belanda karena mereka merasa terancam oleh pasukan Singamangaraja XII dan karena takut keberhasilan zending akan lenyap apabila para misionaris diusir dari Silindung dan Bahal Batu. Panggilan misionaris disambut oleh pihak pemerintah kolonial dan pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda tiba di Pearaja, kediaman penginjil Ludwig Ingwer Nommensen. Setelah beberapa saat tinggal di gereja pertama di Tanah Batak, dan sambil menunggu pasukan tambahan dari Sibolga, para tentara bersama dengan penginjil Nommensen sebagai penerjemah dan penunjuk jalan berangkat ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan.
Sisingamangaraja yang merasa terprovokasi mengumumkan perang (pulas) pada tanggal 16 Februari 1878. Pemerintah Belanda dan para penginjil memutuskan agar lebih baik untuk tidak hanya menyerang markas Singamangaraja di Bangkara tetapi untuk sekalian mendamaikan seluruh Toba. Penginjil L.I. Nommensen dan pendeta Simoneit mendampingi pasukan Belanda pada perjalanan ekspedisi militernya dari bulan Februari hingga Mei 1878 sambil mencatat peristiwa-peristiwa yang terjadi selama ekpedisi militer tersebut.
Puluhan kampung (huta) Batak dibakar dan para raja huta dipaksa menandatangani sumpah setia pada pemerintah Belanda dan membayar pampasan perang. Jumlah korban jiwa di pihak Sisingamangaraja tidak diketahui dengan pasti namun bisa mencapai puluhan atau bahkan ratusan orang. Penginjil Nommensen yang mendampingi tentara penjajah dalam ekspedisi militer mencatat secara akurat kisah berlangsungnya Perang Toba Pertama. Catatan Nommensen ini untuk pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Selain keterlibatan para penginjil RMG dalam Perang Toba, buku ini juga menyoroti latar belakang ideologi RMG yang pada saat itu ditandai oleh paham rasisme, dan kecenderungen RMG dan para penginjil untuk tidak hanya berpihak pada pemerintah kolonial, melainkan untuk secara aktif mendukung penjajahan. Hal itu terutama kelihatan pada medan zending RMG yang utama di Namibia, dan menjelaskan mengapa para misionaris di Tanah Batak secara sukarela bersedia menjadi kaki tangan kolonial Belanda.