Setelah gugurnya Singamangaraja yang terakhir [1] pada 17 Juni 1907 di tangan ekspedisi militer Belanda, pemerintah kolonial menghadapi masalah apa yang perlu dilakukan dengan anggota keluarga Singamangaraja, terutama anak laki-lakinya.
Menurut tradisi, anak laki-laki sulung yang berhak menjadi pengganti ayahnya sebagai Singamangaraja berikut. Akan tetapi, kedua anak tertua ikut tewas bersama ayahnya di dalam pertempuran di Si Onom Hudon, Kec. Parlilitan, Kab. Humbang Hasundutan. Kedua anak itu adalah Patuan Nagari (Sutan Nagari), anak laki-laki sulung dari boru Sagala, istri utama Singamangaraja, dan Raja Patuan Anggi (Sutan Anggi), anak sulung dari boru Nadeak.
Anak laki-laki yang masih hidup tinggal lima yang semuanya masih anak-anak: Raja Buntal, anak kelima boru Sagala; Raja Barita, anak keenam boru Sagala, Raja Sabidan, anak kedua boru Nadeak, Raja Pangarandang, anak kelima boru Nadeak, dan Raja Pangkilim, anak boru Siregar.
Yang paling tua di antaranya Sabidan, Pangkilim dan Buntal, disuruh pindah ke Pulau Jawa untuk melanjutkan pendidikannya pada tahun 1916. Beberapa tahun kemudian, kedua adik mereka, Raja Barita dan Raja Pangarandang, berbagi nasib yang sama. Pangarandang meninggal tahun 1929 semasa lajang di Kudus (Jawa Tengah) sementara tahun kematian Pangkilim tidak diketahui dengan pasti. Ia meninggal sesudah tahun 1930 dalam usia masih muda di Bogor.
Karena Buntal adalah anak istri utama, boru Sagala, maka ia yang berhak menjadi Singamangaraja berikutnya. Namun hal itu tidak terjadi karena tidak sesuai dengan rencana Belanda. Selain itu, Buntal yang diasuh oleh syarikat penginjilan Jerman Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) dan yang sudah menjadi seorang Kristen yang taat, juga tidak berniat menggantikan ayahnya sebagai raja imam.
Perang Gerilya Melawan Belanda
Patuan Bosar Sinambela, lebih dikenal dengan gelarnya Ompu Pulo Batu, lahir pada tahun 1849, dan pada tahun 1875 ia menggantikan ayahnya menjadi Singamangaraja. Secara turun-temurun para Singamangaraja mendiami Bangkara (diucapkan Bakkara), lembah yang indah di tepi Danau Toba. Pada waktu itu Belanda telah menguasai Sumatera Barat, tetapi sebagian besar wilayah Sumatera Utara masih merdeka – kecuali kawasan di sekitar Medan yang menjadi kaya raya karena perkebunan tembakau, dan Mandailing yang menjadi wilayah Hindia Belanda setelah Perang Padri.
Orang Eropa yang pertama yang tinggal di Tanah Batak, tepatnya di lembah Silindung yang terletak 30 kilometer arah selatan Bangkara, adalah Ludwig Ingwer Nommensen, seorang misionaris dari syarikat penginjilan RMG. Tahun 1864 Nommensen mulai menetap di Silindung dan dua tahun kemudian ia berhasil membaptis orang yang pertama. Misi Batak (dalam bahasa Jerman Batakmission) berkembang pesat, dan dalam kurun waktu sepuluh tahun sudah ada enam misionaris di Silindung: Peter Johannsen (tiba tahun 1865), August Mohri (1867), August Simoneit (1873), Heinrich Püse (1874), dan Wilhelm Metzler (1875).
Ompu Pulo Batu menganggap keberadaan orang asing di Silindung sebagai ancaman, terutama setelah para misionaris mulai memperluas wilayahnya dengan membuka pos penginjilan tahun 1877 di Bahal Batu, wilayah yang termasuk dalam kekuasaan Singamangaraja. Merasa terancam, Singamangaraja mengerahkan pasukannya dan ada tanda bahwa ia hendak menyerang Silindung. Nommensen lalu meminta bantuan tentara Belanda. Selama tiga bulan pasukan Belanda melatih milisi pemuda Kristen Batak. Bersama mereka, dengan Nommensen dan Simoneit sebagai pemandu dan penerjemah, pasukan Belanda bergerak menuju lembah Bangkara, kediaman Singamangaraja. Selama perjalanannya, puluhan kampung dibumihanguskan jika rajanya menolak menandatangani surat pernyataan takluk pada kerajaan Belanda. Bangkara ikut dibumihanguskan, tetapi Singamangaraja berhasil meloloskan diri. Wilayah Silindung kemudian dimasukkan ke dalam wilayah Hindia Belanda.
Pada tahun-tahun yang akan datang, Belanda mulai memasuki daerah Toba dengan pos penginjilan yang didirikan oleh misi RMG sebagai pelopor. Pada bulan Februari 1883 daerah Toba dijadikan satuan administrasi dengan nama Onderafdeeling Toba dan seorang Kontrolir ditetapkan di Balige. Merasa terprovokasi dengan kehadiran bangsa asing di dalam wilayahnya maka pada bulan Juni 1883 pasukan Singamangaraja menyerang pos penginjilan di Muara, Paranginan dan Lintong ni Huta. Namun, ketika menyerang Balige, pasukannya berhasil dibubarkan Belanda. Daerah Toba lalu dimasukkan ke dalam wilayah Hindia Belanda, sementara Singamangaraja bersembunyi di daerah yang masih merdeka, Samosir, Humbang, dan Pakpak. Belanda kesulitan melacak keberadaannya, antara lain karena sulitnya menemukan mata-mata yang bersedia mengungkapkan tempat persembunyiannya.
Pada tahun 1904 Gubernur Militer Belanda di Aceh, van Heutsz, memerintahkan Letnan Kolonel GCE van Daalen memimpin pasukan elite kontra-gerilya marsose menyerang Tanah Gayo dan Alas. Seusai membantai rakyat di dalam genosida pertama abad ke-20, sebagian pasukan kembali ke Medan, dan yang lain kembali melewati Tarutung menuju Sibolga. Ketika melintasi daerah Karo, Pakpak, dan Humbang, hanya terjadi beberapa pertempuran kecil karena penduduk sudah mendengar dari orang Alas akan keunggulan pasukan Belanda yang sulit dilawan, antara lain karena mereka menggunakan dinamit untuk meledakkan tembok pertahanan kampungnya.
Pada akhir tahun 1904, hampir seluruh wilayah Sumatera Utara telah tunduk pada Belanda, hanya menyisakan beberapa daerah di Humbang, Pakpak, dan Samosir yang masih merdeka. Pada tahun 1907, diputuskan untuk “mendamaikan” wilayah-wilayah tersebut melalui ekspedisi militer dengan tujuan menangkap Singamangaraja. Pada 1 Maret 1907, Asisten-Residen Bataklanden, E.J. Gerrits, mengajukan permintaan kepada pemerintah pusat di Batavia untuk mengerahkan brigade marsose dengan “kewenangan seluas-luasnya.”
Untuk menangkap Singamangaraja, sebanyak 40 tentara pilihan dari Ambon (termasuk Minahasa) dari Garnisun Cimahi dikerahkan untuk mendukung Kapten Christoffel, komandan pasukan marsose tersebut (De Locomotief 27-03-1907). Pasukan ini bukanlah KNIL biasa, melainkan marsose (Korps Marechaussee te voet), yang, selain bedil canggih M95, mengandalkan kelewang sebagai senjata utama.
Kapten Christoffel dianggap sebagai salah satu perwira KNIL yang paling berhasil, sementara pasukan marsose dipilih dari serdadu Ambon, terutama yang bersuku Alfuru, yang dikenal berani dan ahli dalam melacak jejak. Pasukan elite tersebut berhasil menyergap Singamangaraja dan rombongannya pada 17 Juni 1907, setelah pengejaran yang berlangsung hanya 51 hari. Christoffel melaporkan bahwa “ketika tempat persembunyian di dalam hutan Pearaja diserang, Singamangaraja dan dua putra tertuanya, Sutan Nagari dan Tuan Anggi, serta empat pengikutnya, tewas tertembak. Satu pengikut terluka. Lima anak Singamangaraja ditangkap, dan salah satu di antaranya mengalami kecelakaan sehingga terluka” (De Preanger Bode 21-06-1907). Pada tahun yang sama, seluruh Sumatera Utara masuk wilayah Hindia Belanda.
1907–1916 Diasuh oleh Misionaris [2]
Setelah gugurnya Singamangaraja, sebagian besar anggota keluarganya ditangkap pada hari yang sama, 17 Juni 1907. Hanya Buntal, Pangkilim, dan Himpang – seorang kemenakan Singamangaraja (anak dari kakaknya yang bergelar Ompu Parlopuk) – yang berhasil meloloskan diri. Buntal saat itu berumur sekitar tujuh atau delapan tahun, Pangkilim setahun lebih tua, sementara Himpang berusia sekitar 24 tahun. Pemerintah kemudian mengeluarkan ultimatum kepada para kepala kampung setempat hingga Oktober 1907 untuk menyerahkan Buntal, Pangkilim, dan Himpang kepada kontrolir di Samosir agar mereka dapat diinternir di Tarutung (Bataviaasch Nieuwsblad 30-12-1907; Soerabaijasch Handelsblad 31-01-1908). [3]
Surat kabar De Preanger Bode melaporkan pada tanggal 16 Desember 1907 bahwa Raja Pangkilim ditahan oleh partaki (raja) Si Habong-Habong (Parlilitan, Humbahas). beberapa pengikut Singamangaraja ditembak mati, termasuk “pembunuh kondang Ama ni Nopul.” Pencarian Buntal dihentikan untuk sementara guna memberi kesempatan kepada ibunya, boru Sagala, agar dapat mencari anaknya. 28 Desember 1907 boru Sagala menyerahkan anaknya kepada Kontrolir Samosir.
Buntal, Pangkilim, dan Himpang kemudian dibawa ke Tarutung untuk diasuh Pandita Batak [4] Henoch Lumbantobing (De Preanger Bode 31-12-1907; Sumatra Bode 09-10-1908; Soerabaijasch Handelsblad 31-01-1908).
Pemerintah memutuskan agar istri dan anak Singamangaraja ditahan di markas RMG di Pea Raja (Tarutung) yang terletak di lembah Silindung. Mereka tidak boleh tinggal di daerah asalnya, Toba, karena pengaruh Singamangaraja masih sangat kuat di sana. Pemerintah juga ingin supaya mereka tinggal di lingkungan beragama Kristen, sementara masyarakat di Toba, Humbang, Uluan, Pulo Toba (yang oleh Belanda diganti namanya menjadi Pulau Samosir), dan juga bagian Dairi yang berbatasan dengan Kabupaten Humbang-Hasundutan masih menganut agama tradisional Batak dan tetap setia kepada Singamanagaraja meskipun beliau sudah wafat.
Keterangan untuk Foto: “Pada tahun 1907, keluarga Singamangaraja ditangkap dan dibawa ke Siborongborong. Dalam foto keluarga yang diambil di pasanggrahan Siborongborong, terlihat anggota keluarga yang duduk di kursi, dari kiri: Boru Nadeak (istri kedua) menggendong seorang anak (kemungkinan Pangarandang), Boru Situmorang (ibu), Boru Sagala (istri pertama) dengan seorang anak di pangkuannya yang mungkin Raja Barita. Berdiri di belakang mengenakan baju putih adalah Ama ni Pulo Batu, kemenakan Singamangaraja. Enam anak yang duduk di depan antara lain kemungkinan adalah Himpang, Saulina, Buntal, Sabidan, dan Pangkilim yang masih bocah. Perempuan paling kanan kemungkinan adalah Sahudat, sementara di belakang terdapat beberapa anggota marsose. Di KITLV terdapat foto lain (No. 81623) yang menunjukkan Adranoes Lohy, yang diduga membunuh Patuan Nagari dan Patuan Anggi, putra sulung Singamangaraja. Dalam foto tersebut, seorang perwira bawahan juga tampak tanpa tutup kepala.”
Di Pea Raja, atas perintah pemerintah, telah didirikan sebuah rumah besar untuk menampung keluarga raja imam Singa Mengaradja [sic!]. Tanggung jawab atas keluarga besar ini, yang terdiri dari 18 orang termasuk para janda dan anak-anak, dipercayakan kepada misionaris Metzler dan pandita Henoch. Tiga putra tertua [Sabidan, Buntal dan Pangkilim] diasuh oleh Henoch; sementara ketiga putri bersekolah, tetapi tinggal bersama ibu mereka. Ini bukan tugas yang mudah yang diberikan pemerintah kepada kami, tulis misionaris itu, namun kami berharap dapat melaksanakannya dengan bantuan Tuhan (De Rijnsche Zending 1909:86.
Ke-18 penghuni rumah di Pea Raja terdiri dari tiga janda—boru Sagala, Nadeak, dan Siregar—serta lima anak laki-laki: Sabidan, Buntal, Pangarandang, Barita, dan Pangkilim. Selain itu, terdapat tujuh anak perempuan dan tiga kemenakan, serta 27 bekas budak dan pembantu yang secara sukarela mendampingi mereka. Selain tempat tinggal, keluarga ini juga menerima tunjangan sederhana dari pemerintah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pandita Henoch Lumbantobing merangkap menjadi pengawas, wali, guru, pendidik dan pengasuh sementara zendeling Wilhelm Heinrich Metzler bertanggung jawab memastikan mereka tetap berada dalam status tahanan rumah di Silindung.
Kini, keluarga Singamangaraja menetap di Pea Raja. Di kampung itu, dekat dengan pos zending [pusat RMG], mereka dibiayai pemerintah. Tiga bocah [Buntal, Sabidin, dan Pangkilim] diurus oleh Pandita Henoch dan bersekolah di sana bersama dengan tiga anak perempuan [Singamangaraja] (V. 1908:121).
Bagi pemerintahan kolonial, zending Batak yang dilaksanakan oleh RMG memainkan peran penting dalam penaklukan Tanah Batak. Oleh sebab itu maka mengkristenkan keluarga Singamangaraja dianggap sebagai langkah yang sangat strategis. Pada tahun 1910, tiga tahun setelah kematian Ompu Pulo Batu, keluarganya minta dibaptis. Alasan di balik permintaan ini—apakah berdasarkan keyakinan pribadi, adanya unsur pemaksaan, atau kepentingan politik—tidak sepenuhnya jelas. Namun, baik pemerintah kolonial maupun pihak zending menyambut permintaan tersebut dengan antusias. Pada 3 Januari 1911, ke-18 anggota keluarga Singamangaraja dibaptis oleh Direktur RMG, Johannes Carl Wilhelm Spieker (1856–1920), yang saat itu tengah berada di Hindia Belanda.
Pihak zending Batakmission dan pemerintah Belanda yang selama bertahun-tahun menyebarkan desas-desus bahwa Singamangaraja telah menganut agama Islam, ternyata tidak menemukan tanda-tanda apa pun bahwa ada anggota keluarganya beragama Islam.
Foto yang diambil setelah acara pembaptisan pada tahun 1911 ini menunjukkan ketiga putra Singamangaraja berdiri di baris paling belakang, nomor 1, 2, dan 6 dari kanan, mengapit tiga kemenakan yang mengenakan jas tutup. Keenam anak tersebut diapit oleh seorang upas (polisi) yang berpakaian putih dan Pandita Henoch yang berpakaian hitam.
Menuju Tempat Pengasingan
Seusai wafatnya sang baginda maka para penguasa di Belanda, di Batavia, dan juga di Tanah Batak sibuk memikirkan bagaimana sebaiknya menangani Singamangaradjakwestie (masalah Singamangaraja), atau lebih tepat masalah keluarganya, khususnya kelima putranya yang masih hidup. Pemerintah khawatir anak-anaknya dapat menjadi ancaman karena mereka tetap dimuliakan oleh sebagian masyarakat, terutama di wilayah Toba, Humbang, Uluan, dan Samosir. Yang mendapatkan perhatian khusus adalah Raja Buntal, yang sejak 1911 menyandang nama baptis Karel, karena sebagai putra sulung dari istri pertama Singamangaraja, boru Sagala, ia dianggap sebagai calon pewaris gelar Singamangaraja berikutnya.
Solusi untuk memecahkan masalah kelima putra Singamangaraja yang masih hidup sudah dipikirkan oleh misionaris J.H. Meerwaldt beberapa bulan setelah wafatnya Singamangaraja:
Menurut berita terkini dua anak laki-lakinya masih dicari. Tidak lama lagi pasti akan ditemukan dan kalau sudah berada di dalam tangan pemerintah dalam keadaan masih hidup maka mereka pun bersama dengan yang lain harus dikirim ke pengasingan. Oleh sebab itu maka saya menyebut yang baru saja wafat sebagai Singamangaraja terakhir (Meerwaldt 1908:10).
Namun, pemerintah berhati-hati dalam penggunaan istilah verbanning (pengasingan) yang dipakai oleh Meerwaldt, mengingat kelima putra Singamangaraja masih di bawah umur dan tidak melakukan kesalahan apa pun. Menurut versi pemerintah, mereka bukan “dibuang” tetapi “disekolahkan” di Jawa untuk melanjutkan pendidikan. Meskipun demikian, media massa tetap menyebut tindakan ini sebagai verbanning.
Pengasingan menjadi sebuah strategi politik yang gencar dilakukan pemerintah terhadap mereka yang dianggap pembangkang. Kebanyakan korban politik tersebut berasal dari Pulau Jawa dan mereka umumnya diasingkan di tempat di luar Jawa. Tahun 1927 pemerintah kolonial malahan membangun penjara alam di Boven Digul, Papua, khusus untuk para pejuang kemerdekaan. Namun kasus anak-anak Singamangaraja berbeda. Mereka bukan pemberontak dan tidak melakukan tindakan kejahatan ; malah mereka dianggap sebagai teladan: anak seorang tokoh pemberontak yang dididik dengan cara Barat dan memeluk agama Kristen. Bahkan, sejak 1907, saat mereka pertama kali ditangkap, mereka telah “diasingkan” secara tidak langsung karena tidak diizinkan kembali ke daerah asalnya di Toba dan diharuskan menetap di Silindung, yang kala itu menjadi pusat kegiatan kekristenan di Tanah Batak.
Mereka diasingkan ke Pulau Jawa dengan dua tujuan: Pertama, agar mereka tidak berkolaborasi dengan para pemberontak Parhudamdam di Toba atau menjadi pusat perhatian sebagai calon penerus Singamangaraja. Kedua, dalam semangat ethische politiek yang diterapkan sejak 1901, pemerintah ingin memberikan pendidikan berstandar Belanda kepada anak-anak penguasa lokal dengan harapan mereka akan menjadi perantara yang loyal antara pemerintah kolonial dan rakyat pribumi. Mereka diharapkan memahami adat dan bahasa setempat, namun juga akrab dengan gaya hidup Barat serta fasih berbahasa Belanda dan Melayu (yang kelak menjadi bahasa Indonesia).
Meski demikian, pemerintah tetap merasa waswas. Pada 15 Februari 1929, surat kabar De Sumatra Post melaporkan…
Pemerintah senantiasa mengurus keluarga Singamangaraja dengan baik. Mereka memperoleh tunjangan sehingga mereka bisa hidup selayaknya. Tiga putranya, di antaranya sang pangeran [Buntal], dikirim ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan supaya di kemudian hari mereka dapat menduduki posisi terhormat di dalam masyarakatnya. Pada saat yang sama ini juga semacam pengasingan: Lebih baik kalau mereka tidak berada di Tanah Batak. […]
Karel [Buntal] yang menjadi anak asuh zending, telah menjadi seorang Kristen yang taat, dan tidak lagi bercita-cita menggantikan ayahnya sebagai Singamangaraja. Cita-citanya kini lebih realistis: ia ingin menjadi seorang raja di Tanah Batak. Malahan ia menuntut agar diberikan posisi yang lebih unggul daripada raja yang lain.
Pemerintah tidak keberatan jika sang pangeran, yang dengan sukses menyelesaikan pendidikannya di sekolah hukum, diberi posisi yang layak. Asal jangan menjadi raja, dan juga lebih baik tidak di Tanah Batak. […] Menurut pemerintah setempat sebaiknya tidak usah memasang tiang bendera. Jangan-jangan nanti bendera Singamangaraja yang berbahaya dikibarkan di tiang tersebut. […] Secara politik, keluarga Singamangaraja masih penting. Sang Nyonya tua [boru Sagala] memang sangat pintar, tetapi hanya menguasai bahasa Batak. Ia seorang yang cekatan dan tentu saja sangat tertarik mengetahui bagaimana nasib dinastinya.
Karel [Buntal] agak sakit hati, tetapi tidak secara diam-diam. Dia berterus-terang, dan sepertinya tidak ada orang yang tidak percaya padanya. Namun dia menganggap dirinya tidak diperlakukan secara adil, terutama dalam hal kematian ayahnya. Dari berbagai saksi mata dia mendengar bahwa Singamangaraja tidak gugur di dalam pertempuran. Ketika tempat persembunyiannya diketahui maka ia dan pengikutnya berusaha melarikan diri.
Singamangaraja menyadari bahwa putranya [Patuan Anggi] (yang juga gugur pada peristiwa itu) tidak sempat melarikan diri sehingga berada dalam bahaya ditembak mati. Maka Singamangaraja berpaling dan berseru dalam bahasa Melayu “Aku Singamangaraja”. Lalu seorang serdadu mendekatinya dan langsung menembaknya mati.
Satu lagi alasan maka ketiga anak diputuskan harus pindah ke Batavia karena pengasuh dan pengawas mereka, Pandita Henoch (dikenal dengan gelar Ompu Panusur), memutuskan untuk meninggalkan Batakmission dan menjadi pegawai pemerintah. [5]
Pemerintah sebenarnya mempercayai anak-anak Singamangaraja yang selama ini tidak pernah menunjukkan tanda-tanda perlawanan. Mereka juga tidak dianggap berbahaya, namun kekhawatiran muncul bahwa di masa depan situasinya bisa berubah. Pada tahun 1913, pegawai kolonial H.J. Köhler menerima surat dari Kapten Gerlich yang menyatakan:
Tampaknya keluarga Singamangaraja terlibat dalam keresahan ini, dan ada desas-desus di sini bahwa Si Bu[n]tal, putra Singamangaraja yang paling dihormati, akhir-akhir ini bertingkah aneh, menjadi pendiam dan tertutup (Köhler 1926:348).
Meskipun anak-anak Singamangaraja sudah “diamankan” Silindung, jauh dari pusat pergolakan di Toba, Humbang, dan Samosir, mereka tetap menarik perhatian masyarakat, terutama dari kalangan yang menentang pemerintahan Belanda dan terlibat dalam gerakan Parhudamdam
Pada tahun 1915, Residen Tapanuli, P.J. Barth, menyarankan dalam Memorie van Overgave (laporan akhir jabatan) agar anak-anak laki-laki Singamangaraja dikirim ke Jawa untuk dididik sebagai orang biasa, bukan sebagai anak bangsawan. Keputusan untuk memindahkan ketiga putra tertua Singamangaraja ke Batavia ditandatangani oleh Dr. G.A.J. Hazeu, Komisaris Pemerintah Urusan Pribumi dan Arab. Meski demikian, Hazeu menghindari istilah banneling (orang yang diasingkan) karena secara resmi mereka dikirim ke Jawa untuk melanjutkan pendidikan (Locher-Scholten 2020:158).
Pada tanggal 24 November 1916, ketika sedang belajar di Hollandsch-Bataksche School di Sigompulon (Tarutung), ketiga putra Singamangaraja, Willem Sabidan, David Pangkilim, dan Karel Buntal Sinambela, dipanggil ke rumah misionaris Marcks. Di sana, Asisten Residen memberitahu mereka bahwa mereka harus berangkat ke Batavia. Berita ini mengejutkan mereka karena merasa tidak bersalah. Keesokan harinya, ketiganya diberangkatkan ke Batavia. Pada pukul 5.00 pagi, mereka mandi di sungai, sementara rumahnya di Pea Raja dijaga ketat oleh petugas bersenjata yang diperintahkan untuk menembak jika mereka mencoba melarikan diri.
Setelah berpamitan dengan ibu masing-masing, yang tidak diizinkan ikut mengantar, ketiga anak berangkat dengan mobil menuju Sibolga. Mereka didampingi oleh Demang Baginda Hamonangan [6], misionaris RMG Otto Marcks dari Pea Raja, dan seorang Kontrolir dari Tarutung; namun, selama perjalanan dari Sibolga ke Jakarta, mereka hanya ditemani oleh Baginda Hamonangan yang membawa sepucuk pistol.
Pada tanggal 26 November 1916, mereka menaiki kapal kecil menuju Barus, lalu kembali lagi ke Sibolga tanpa diizinkan turun dari kapal yang dijaga ketat. Polisi berulang kali memeriksa keberadaan mereka di atas kapal. Tiga hari kemudian, mereka pindah ke kapal yang lebih besar, Willem Barentsz, dan pada malam tanggal 30 November tiba di Padang. Di Pelabuhan Emmahaven (Padang), mereka tetap tidak diizinkan turun hingga tanggal 3 Desember.
Dalam perjalanan antara Bengkulu dan Batavia, seorang pegawai kapal bertanya kepada Baginda Hamonangan, “Di mana orang yang mau diasingkan itu?” Demang menjawab, “Mereka bukan diasingkan; saya disuruh mengantarkannya ke Batavia.” Namun, ketiga putra Singamangaraja diminta menandatangani sebuah surat yang di setiap namanya tercantum kata banneling (Locher-Scholten 2020: 149).
Pada pagi hari 7 Desember 1916, setibanya di Tanjung Priok, Jakarta, ketiga anak Singamangaraja—Buntal, Sabidan, dan Pangkilim—dijemput oleh polisi rahasia Eropa yang berpakaian preman. Mereka dibawa ke Komisariat Polisi di Weltevreden (Sawah Besar, Jakarta Pusat) dan kemudian ke Kantor Residen. Setelah makan siang, mereka diberi kebebasan untuk pergi ke mana saja, hal yang membuat mereka heran karena selama ini mereka selalu diawasi ketat. Demang Hamonangan menjelaskan bahwa pengawasan ketat di Pea Raja dimaksudkan untuk mencegah mereka berhubungan dengan kelompok pemberontak Parhudamdam.
Baginda Hamonangan menemani mereka hanya beberapa hari, lalu kembali ke Sibolga pada 12 Desember (Locher-Scholten 2020: 152; De Sumatra Post, 14-12-1916). Keberangkatan mereka ke Jakarta ini rupanya dirahasiakan, dan tidak diberitakan di surat kabar. Namun, setelah diketahui bahwa mereka telah dibuang, berita tersebut memicu kerusuhan. Para pengikut Parhudamdam menyerang patroli militer di Samosir, menyebabkan delapan orang dari pihak Parhudamdam tewas (Dagblad van Zuid-Holland en ’s-Gravenhage, 17-02-1917). Kerusuhan ini diduga terkait dengan pembuangan anak-anak Singamangaraja.
Saat ditanya apakah mereka dapat menikmati kebebasan penuh atau harus tetap diasingkan, Duyvetter dari Departemen Dalam Negeri tidak bisa memberi kepastian. Dia hanya menyebutkan bahwa mungkin suatu saat mereka bisa kembali jika berkelakuan baik. Willem Sabidan menjawab bahwa mereka selalu berkelakuan baik dan tidak pernah melanggar aturan apa pun. “Jadi, untuk apa kami dihukum?” tanyanya—suatu pertanyaan yang tak mendapat jawaban (Locher-Scholten 2020: 150–51).
Gerakan Parhudamdam & Perang Dunia Pertama
Pada tahun 1928, Karel Buntal menulis dalam bahasa Belanda mengenai pengalaman pengasingannya ke Jawa pada tahun 1916, dan laporannya kini tersimpan di arsip Kementerian Kolonial di Den Haag. Dokumen ini ditemukan oleh Elsbeth Locher-Scholten pada tahun 2020 saat meneliti arsip tersebut. Tulisan Karel Buntal memuat kesaksian pribadi yang lebih mendalam dibandingkan laporan resmi dari Demang. Ia menggambarkan bagaimana mereka menangis ketika mendengar bahwa mereka akan diasingkan ke Jawa tanpa sempat berpamitan dengan keluarga dan teman-teman. Pada malam harinya, misionaris Otto Marcks datang untuk menghibur mereka, dan keesokan paginya mereka langsung dibawa menuju Sibolga dengan terburu-buru karena dikatakan kapal sudah menunggu. Namun, setibanya di Sibolga, ternyata mereka harus naik kapal kecil ke Barus sebelum akhirnya kembali lagi ke Sibolga. Buntal bahkan mengecam perjalanan ini sebagai pemborosan uang pajak rakyat.
Buntal juga mencatat bahwa pemindahan mereka ke Jawa mungkin didasari kekhawatiran Belanda terhadap pemberontakan Parhudamdam yang terjadi pada 1915-1917. Parhudamdam ini dipicu oleh Perang Dunia Pertama yang bagi orang Batak memperlihatkan kontradiksi moral orang Eropa, yang datang sebagai misionaris pengajar kedamaian tetapi juga terlibat dalam peperangan brutal di antara sesama bangsa mereka di Eropa.
Gerakan Parhudamdam pertama kali muncul sekitar tahun 1915 di Barus Hulu, dan dengan cepat menyebar di seluruh wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan, dan kemudian ke wilayah Samosir dan Toba (termasuk Uluan dan Habinsaran). Dari sana gerakan tersebut menyebar ke daerah di luar wilayah penutur bahasa Batak Toba seperti Simalungun dan Karo Jahe (Dorp 1917:153; De Indiër 06-02-1917). Menurut Hirosue (1988:276), ideologi Parhudamdam terutama dianut oleh orang Toba yang bermigrasi ke Simalungun, namun dari catatan misionaris Nederlandsch Zendelinggenootschap (NZG), J.H. Neumann (1918), ideologi Parhudamdam juga dianut oleh penduduk asli Karo yang menamakannya Perhudamdam. Harian De Indiër tertanggal 21-05-1918 melaporkan bahwa gerakan tersebut sudah mendapat lebih dari 400 penganut di Onderafdeeling Karolanden dengan Arnhemia (Pancurbatu) sebagai salah satu pusat Perhudamdam (DeStandaard 20-06-1918). Silindung dan Karo Gugung (dataran tinggi Karo yang lebih diuntungkan secara ekonomi dengan kehadiran Belanda, tidak terlalu terpengaruh, meskipun pada 1918 jumlah penganut Parhudamdam di Karo Gugung sempat mencapai 500 orang (De Sumatra Post, 25-01-1918, 26-02-1918).
Belanda mengkhawatirkan penyebaran gerakan Parhudamdam ini, terutama jika kelima suku Batak—Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, dan Angkola-Mandaiing—bersatu dalam pemberontakan melawan mereka. Di tengah ketegangan ini, harapan masyarakat bisa saja bertumpu pada anak-anak Singamangaraja sehingga pemerintah kolonial khawatir anak-anak Singamangaraja dapat menjadi pemimpin pemberontakan. Untuk menghindari potensi ancaman ini, Belanda memutuskan bahwa anak-anak Singamangaraja harus diasingkan jauh dari Tanah Batak.
Pendeta Neuman menulis dari kediamannya di Sibolangit (Kab. Deli Serdang) betapa suramnya keadaan di Karo Jahe:
“Semua kebijaksanaan yang baik yang dilakukan oleh kompeni [pemerintah Hindia-Belanda] dianggap sebagai penaklukan dan pengisapan. Seorang Karo yang sudah beragama Kristen, dan saya curigai menjadi anggota gerakan itu, mengatakan bahwa gerakan Perhudamdam kini telah menjadi agama yang benar. Menurutnya, kaum tertindas di Matius 5:10-1 tak lain adalah orang Batak sementara Perang Dunia [Pertama] merupakan hukuman Tuhan terhadap bangsa kulit putih. […] Perhudamdam di Karo Jahe telah menyebar luas dan terus-terang dalam suasana saat ini, kami tidak bisa berbuat apa-apa. Upaya kami [untuk menyebarkan agama Kristen] akan sangat sulit dan mungkin akan terganggu selama beberapa tahun mendatang. Seorang guru sekolah bahkan harus mencari perlindungan di rumah saya karena anak sekolah melaporkan adanya ancaman terhadapnya” (Neumann 1918).
Kecemasan Neumann memang beralasan: Pada awal Januari 1917, Muller, seorang pegawai administrasi Belanda di distrik Hoogvlakte van Toba (sekitar Siborongborong), tewas dikeroyok oleh anggota Parhudamdam di Pakat (Kab. Humbang Hasundutan) ketika ia mendatangi rumah ibadat Parhudamdam. Pada bulan yang sama kerusuhan juga pecah di Barus, Humbang, dan Samosir (Sumatra Bode 25-01-1917; Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië 12-04-1917). Pada Februari 1917 patroli militer Belanda diserang oleh sekitar 200 anggota Parhudamdam di Reaniate, Kec. Pangururan, Kab Samosir, menyebabkan delapan anggota Parhudamdam tewas (Bataviaasch Nieuwsblad 17-02-1917). Harian De Sumatra Post melaporkan pada 18 Juli 1917 bahwa seorang misionaris bernama Fuchs di Palipi, Samosir, menerima ancaman pembunuhan dari penduduk setempat.
Di Pengasingan
Karena kekhawatiran bahwa setelah Barita, Buntal dan Sabidan sudah dibuang ke Jawa maka adiknya Hendrik Barita Sinambela dan Oscar Pangarandang Sinambela akan menjadi sorotan dan sumber harapan penganut Parhudamdam maka mereka mengalami nasib yang sama dengan abang mereka. Hanya dua tahun setelah Willem Sabidan, David Pangkilim, dan Karel Buntal dibuang ke Jawa, maka berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal tertanggal 30 September 1918, no. 25, Barita dan Pangarandang diasingkan ke Jawa.
Sementara Barita dan Pangarandang diasingkan, Himpang dan Sunting dibebaskan pada tahun yang sama (Bataviaasch Nieuwsblad 02-10-1918). Artinya, mereka tidak lagi diwajibkan tinggal di Pea Raja dan dapat memilih tempat tinggal sendiri:
“Kepada putra-putra almarhum raja imam Batak Si Singamangaradja: Si Barita dan Pangarandang ditetapkan pulau Jawa sebagai tempat tinggal, sementara dengan dicabutnya tindakan politik terhadap mereka, maka Si Sunting, Ama ni Pulo Batu, Ompu Sosuhaton dan Si Himpang diizinkan kembali ke tempat tinggal mereka semula”.
Sejalan dengan keinginan pemerintah, kelima anak Singamangaraja melanjutkan pendidikannya di pulau Jawa. Di Tarutung, mereka telah belajar bahasa Melayu dan Belanda, sehingga siap untuk pendidikan lebih tinggi di Jawa dengan biaya dari pemerintah. Pemerintah berharap agar anak-anak Singamangaraja tidak mengikuti jejak ayah mereka sebagai “pemberontak” dan kelak menjadi sosok “modern” yang fasih berbahasa Belanda, beragama Kristen, dan nyaman berinteraksi dengan berbagai lapisan masyarakat. Dengan pendidikan dan jabatan yang sesuai keahlian, mereka bisa diawasi lebih mudah dan tidak akan membahayakan pemerintah.
Setelah Perang Dunia Pertama berakhir pada 1918, situasi di Tanah Batak mulai stabil. Pemberontakan Parhudamdam telah reda, dan kondisi ekonomi masyarakat membaik. Nama Singamangaraja maupun anak-anaknya jarang disebut di surat kabar selama hampir sepuluh tahun.
Karena keadaan politik dan ekonomi yang semakin stabil maka pemerintah mulai mempertimbangkan untuk mengizinkan anak-anak Singamangaraja yang diasingkan ke pulau Jawa kembali ke Sumatera agar mereka bisa bekerja sesuai dengan bakat dan pendidikannya. Sumatra Bode (04-01-1929) melaporkan bahwa pemerintah berencana mengangkat Buntal sebagai kepala Rapat (cikal bakal Pengadilan Negeri) di Tarutung, sementara Willem Sabidan, yang telah menyelesaikan pendidikan di bidang perbankan, ditunjuk sebagai pengawas volkscredietwezen (cikal bakal BRI) di Tapanuli (Sumatra Post 31-12-1928).
Antara 1918 dan 1921, istri kedua serta dua putri Singamangaraja meninggal dunia di Pea Raja. Empat putri lainnya sudah menikah dan tinggal bersama suami mereka, yang bekerja sebagai pegawai kantor, Asisten Demang, wakil komisaris, dan guru sekolah negeri. Dengan begitu, keluarga anak-anak perempuan Singamangaraja telah terintegrasi dengan baik dalam tatanan kolonial. Di rumah Pea Raja yang mulai usang, hanya tersisa tujuh penghuni: istri pertama, Boru Sagala, beserta putrinya Si Tambok yang belum menikah, serta Si Saulina, seorang janda dengan tiga anak. Selain itu, ada juga menantu perempuan mereka, Si Nainga, janda dari Sutan Nagari, putra sulung Singamangaraja yang dibunuh pada 1907. Uang bantuan dari pemerintah kolonial menjadi satu-satunya sumber penghidupan mereka, sehingga mereka sepenuhnya bergantung pada pemerintah (Locher-Scholten 2020:159).
Pada 1920-an, pemerintah masih disibukkan dengan persoalan Singamangaraja, terutama karena bermacam-macam petisi dari keluarga dan lembaga adat Parbaringin. Mereka mengajukan permohonan agar pemerintah mengizinkan anak-anak Singamangaraja kembali ke kampung halaman mereka.
Parbaringin adalah organisasi keagamaan, sosial-politik, dan ekonomi yang memimpin konfederasi kampung bernama Bius. Sistem ini mirip dengan Subak di Bali, karena Bius dan Parbaringin berperan penting dalam irigasi dan persawahan. Singamangaraja dianggap sebagai primus inter pares (yang pertama di antara yang setara) dalam struktur ini. Karena pengaruh Parbaringin di kalangan masyarakat Batak, pemerintah Belanda melarang aktivitas Parbaringin atas permintaan misionaris.
Petisi-petisi yang diajukan selalu berkaitan dengan permohonan agar anak-anak Singamangaraja diizinkan pulang ke Tanah Batak. Namun, pemerintah terus menolak permintaan ini, khawatir akan pengaruh Raja Buntal, putra sulung dari istri utama Singamangaraja, yang sangat populer di kalangan masyarakat Batak. Pada 9 November 1933, misalnya, surat kabar Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indië melaporkan bahwa sekelompok anggota Parbaringin mendatangi Asisten Residen di Tarutung untuk meminta agar Raja Buntal diangkat sebagai Singamangaraja.
Anggota keluarga lain dianggap tidak lagi berbahaya, kecuali Boru Sagala yang dikenal dekat dengan Parbaringin.
Raja Buntal Sinambela (Karel)
Menurut laporan De Sumatra Post tanggal 15 Februari 1929, dari lima anak Singamangaraja, hanya Karel Buntal yang dianggap “becus” atau paling kompeten (de eenige bruikbare). Buntal adalah satu-satunya yang melanjutkan pendidikannya dari Hollands-Inlandse School, kemudian ke MULO, dan akhirnya ke Algemene Middelbare School di Yogyakarta. Pada Mei dan Juni 1924, ia dan saudaranya diberi izin berkunjung ke Tapanuli. Selama beberapa minggu, Buntal menjadi pusat perhatian masyarakat, menunjukkan bahwa pengaruh nama Singamangaraja masih kuat, terutama di onderafdeeling Toba dan Samosir (Verslag 1925:11).
Pada 1925, Buntal memasuki sekolah ilmu pemerintahan (Bestuursschool) di Batavia untuk mempelajari hukum. Setelah lulus pada Mei 1928, ia bekerja di landraad (pengadilan negeri) Batavia yang terletak di Jatinegara. Di tahun yang sama, ia kembali diberi izin berkunjung ke Tarutung untuk bertemu keluarganya. Dalam kunjungan tersebut, ia menghadiri pesta adat yang menarik perhatian masyarakat setempat, yang datang dari berbagai penjuru untuk melihatnya. Banyak yang berharap ia akan meneruskan ayahnya sebagai Singamangaraja (Deli Courant, 1 Oktober 1928). Surat kabar Soara Batak bahkan menyebut bahwa hanya Raja Buntal yang pantas menjadi Singamangaraja (Nieuwe Rotterdamsche Courant, 20 Desember 1928).
Sumatra Bode 04-01-1929 memberitakan bahwa pemerintah berencana mengangkat Karel Buntal sebagai kepala Rapat (lembaga cikal bakal Pengadilan Negeri) di Tarutung. Namun, pada tahun 1932, ia tetap bekerja di Jawa sebagai Panitera Pajak (fiscaal-graffier) di Pengadilan Negeri (landgerecht) Tegal.
Ketika melakukan penelitian di Ministerie van Koloniën (Kementerian Kolonial) di Den Haag, peneliti Belanda Elsbeth Locher-Scholten menemukan surat tulisan tangan Buntal. Pada tahun 1928 Karel Buntal menulis tentang cita-citanya di masa depan. Dalam bahasa Belanda yang berbunga-bunga Buntal menyatakan keinginannya untuk lulus dari sekolah hukum tata negara pada bulan Mei 1928 dan berharap bisa diangkat sebagai pegawai pemerintahan di Tanah Batak. Buntal merasa ini adalah permintaan yang wajar mengingat kesetiaannya kepada pemerintah Belanda selama ini.
Setiap kali pulang kampung untuk liburan sekolah. masyarakat Batak di Silindung memang selalu datang untuk menjenguknya, tetapi selain itu kedatangannya tidak pernah menimbulkan gejolak apa-apa. Buntal membayangkan perannya sebagai penghubung antara masyarakat Batak dan pemerintah Belanda, dan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap para pejuang kemerdekaan yang menolak bekerja sama dengan pemerintah kolonial. Baginya, kerja sama ini akan membawa manfaat baik bagi masyarakat Batak maupun pemerintah.
Menanggapi permohonan Buntal untuk ditempatkan di Tanah Batak, pemerintah memerintahkan penyelidikan yang dilakukan oleh E. Gobée, penasehat Departemen Dalam Negeri, dan P.C.A. van Lith, Direktur Urusan Dalam Negeri (Directeur Binnenlandsch Bestuur). Laporan mereka, berjudul “Laporan mengenai Si Singamangaraja dan anggota keluarga terdekat,” memberikan penilaian lebih lanjut mengenai permintaan Buntal tersebut (Locher-Scholten 2020:160–1) [7].
Hasil penyelidikan yang dilakukan oleh E. Gobée dan P.C.A. van Lith menyimpulkan bahwa kembalinya putra Singamangaraja ke Tanah Batak tidak akan merugikan pemerintah. Sejak 1927, pemerintah mulai mengupayakan kepulangan Karel Buntal ke Tanah Batak, proses yang melibatkan berbagai instansi hingga ke tingkat Gubernur Jenderal. Bahkan, Buntal diterima dalam dua audiensi dengan Gubernur Jenderal dan mampu meninggalkan kesan positif berkat kewibawaannya, kefasihannya dalam berbahasa Belanda, serta kemampuannya memilih kata-kata yang menyenangkan bagi para pejabat kolonial.
Dari segi pendidikan, agama, dan keturunannya, Buntal dihargai oleh pejabat Belanda, bahkan pada level tertinggi. Kedudukannya sebagai salah satu intelektual pribumi membuat pemerintah merasa perlu mendengarkan aspirasinya. Dalam laporan tahun 1928, Buntal mengungkapkan penderitaan yang ia dan saudara-saudaranya alami selama masa pengasingan, terutama karena hidup dalam ketidakpastian dan tanpa hak atas harta peninggalan ayahnya. Ia pun tak dapat membantu ibunya yang semakin tua, dan bahkan sulit untuk berpacaran karena statusnya sebagai orang yang diasingkan (Locher-Scholten 2020:152).
Keadaan ini mencerminkan tekanan sosial dan emosional yang dialami keluarga Singamangaraja dalam menghadapi kenyataan hidup sebagai keluarga bekas pemimpin perlawanan yang kini berada di bawah kendali pemerintah kolonial.
Raja Sabidan Sinambela (Willem)
Raja Sabidan Sinambela, dibaptis dengan nama Willem, anak sulung Singamangaraja dengan istri Boru Nadeak, memulai kariernya di bidang volkscredietwezen (kredit rakyat), suatu lembaga yang didirikan oleh Belanda sebagai upaya mengendalikan aspirasi nasionalis, religius, dan ekonomi di kalangan rakyat pribumi. Volkscredietwezen ini nantinya berkembang menjadi Bank Rakyat Indonesia. [8]
Sabidan awalnya bekerja di Volksbank di Blora dan Madiun, dan karena dianggap mampu maka ia diperbolehkan melanjutkan pendidikan. Pada 1921 hingga 1923, ia tercatat sebagai mahasiswa tamu (toehoorder) di Bestuursschool di Batavia, sekolah khusus ilmu pemerintahan yang bertujuan melatih pegawai kolonial.
Pada 1928, Sabidan mendapat posisi sebagai pengawas di Centrale Kas voor het Volkscredietwezen, yang kelak menjadi Bank Rakyat Indonesia, di Semarang. Surat kabar De Sumatra Post (31 Desember 1928) melaporkan rencana pengangkatannya sebagai pegawai Volksbank di Tanah Batak, yang menunjukkan bagaimana pemerintah kolonial ingin melibatkan Sabidan dalam lembaga keuangan sebagai bagian dari upaya mengintegrasikan elite pribumi ke dalam struktur kolonial.
Raja Pangkilim Sinambela (David)
Riwayat David Pangkilim Sinambela, setelah diasingkan ke Jawa pada tahun 1916, tidak banyak diketahui. Ia melanjutkan pendidikannya di Bogor, tetapi sejak usia muda menunjukkan tanda-tanda gangguan mental dan akhirnya dirawat di rumah sakit jiwa di Buitenzorg (Bogor). Pangkilim meninggal tak lama setelah tahun 1930 di Bogor. [9]
Raja Pangarandang Sinambela (Oscar)
Pada tahun 1918, Raja Pangarandang diasingkan ke Kudus, Jawa Tengah [10]. Ia meninggal di sana dalam keadaan lajang pada tanggal 27 Desember 1929, secara mendadak setelah menderita sakit singkat. Berita kematiannya dimuat di Bataviaasch Nieuwsblad (28 Desember 1929), dengan pengumuman yang ditandatangani oleh Sabidan, Buntal, dan Barita.
Raja Barita Sinambela (Hendrik)
Raja Barita diasingkan ke Jawa pada tahun 1918 dan melanjutkan pendidikan di AMS Yogyakarta. Pada tahun 1934, ia menyelesaikan pendidikan di Middelbare Opleidingsschool voor Inlandsche Ambtenaren (MOSVIA) di Magelang, sebuah sekolah bergengsi untuk pelatihan pegawai sipil pribumi. Setelah lulus, Raja Barita diangkat menjadi pegawai di Sumatra dalam bidang hukum (De Locomotief, 09-06-1934).
Pasca Pembuangan
Sejak tahun 1928, pemerintah kolonial mempertimbangkan kepulangan anak-anak Si Singamangaraja ke Tapanuli. Panitia yang ditunjuk untuk mengkaji hal ini menyarankan agar Karel Buntal diangkat sebagai ketua Rapat (pengadilan negeri) di Tarutung, dan Willem Sabidan ditempatkan sebagai pegawai bank rakyat di Tapanuli (De Sumatra Post, 31-12-1928).
Karena keadaan di Tanah Batak, Pakpak, Simalungun, dan Karo, sudah dianggap aman dan stabil, maka pada bulan Juli 1930 Gubernur Jenderal De Graeff akhirnya memutuskan untuk memberi kebebasan kepada tiga putra Singamangaraja yang masih hidup, yaitu Karel Buntal, Hendrik Barita, dan Willem Sabidan. Surat kabar terbitan Medan Sinar Deli melaporkan pada 25-07-1930:
Dengan opsil [resmi] dikabarkan, bahwa Artikel 1 dari besluit tanggal 25 Maret 1908 No. 7 tentang pembuangan Karel Buntal Sinambela, Hendrik Barita Sinambela, Willem Sabidan Sinambela, ketiganya anak dari marhum Si Singamangaraja, menurut peraturan politik sudah dicabut kembali. Dengan perubahan Artikel 1 tersebut di atas, diunjuk tempat tinggal kepada Si Silan [Sailan], Maria Tambok, dan Si Mainga [Nainga], masing-masing janda, anak perempuan dan menantu marhum Si Singamangaraja yaitu di tanah dataran Silindung, Afdeeling Bataklanden, Residentie Tapanuli.
Berita ini ternyata tidak dianggap begitu penting sehingga hanya dicetak pada halaman kedua. Sinar Deli malah lupa menyebut David Pangkilim (yang turut disebut di dalam Deli Courant 22-07-1930), dan surat kabar nasional Bintang Timoer tertanggal 22-07-1930 hanya menyebut peristiwa itu dalam berita sesingkat 80 kata
Pembatasan kebebasan untuk memilih tempat tinggal juga dicabut untuk anggota keluarga yang lain. De Sumatra Post 25-11-1935 memberitakan bahwa “peraturan politik” terhadap Si Sailan (istri Singamangaraja), Maria Tambok (putri), dan Si Nainga boru Situmorang (menantu), telah dicabut sehingga masa tawanan mereka di Silindung berakhir.
Pada tahun 1930-an keadaan di Hindia Belanda sudah jauh berbeda dengan 25 tahun sebelumnya. Pax Neerlandica sudah terwujud sehingga seluruh wilayah Indonesia sepenuhnya dikuasai Belanda. Kini, pemerintah kolonial tidak lagi takut pada keluarga bekas pembangkang. Mereka lebih takut pada bahaya komunisme dan nasionalisme, dan keduanya pada waktu itu belum berkembang di Tanah Batak yang berada di bawah kekuasaan misi RMG yang sepenuhnya dipercaya oleh pemerintah.
Raja Buntal
Para penguasa menganggap Karel Buntal sebagai orang yang baik budi pekerti, setia, bersedia membantu, serta kebarat-baratan. Bagi pemerintah risiko pembebasan Raja Buntal dan saudaranya dinilai rendah – antara lain karena secara keuangan mereka tergantung pada pemerintah. Sebagai pegawai negeri Raja Buntal bisa setiap saat dipindahtugaskan ke luar daerah sekiranya timbul kerusuhan di Tanah Batak, dan keputusan pembebasan bisa saja setiap saat ditarik kembali apabila perlu.
Meskipun sejak Juli 1930 Buntal seharusnya sudah bisa memilih tempat tinggalnya sendiri, ternyata kebebasannya Buntal, dan demikian juga saudaranya, tidak sepenuhnya tak bersyarat. Pertama, ia hanya diperbolehkan pulang setelah menyelesaikan pendidikannya selama dua tahun di bawah bimbingan Prof. Dr. Barend ter Haar di sekolah tinggi hukum Rechtshoogeschool te Batavia dengan fokus hukum adat Batak. Setelah itu, sesuai rencana pemerintah, ia akan ditugaskan di kantor Asisten Residen di Tarutung (Silindung) yang cukup jauh dari daerah Toba. Jika ia sanggup menjalankan tugasnya dengan baik, Buntal akan diangkat sebagai pegawai di Kantor Residen Tapanuli.
Buntal merasa kecewa karena tidak diizinkan langsung kembali ke Tanah Batak. Namun, setidaknya pemerintah bersedia memperbaiki rumah ibunya di Pea Raja (Tarutung) dan meningkatkan tunjangan biaya hidup bulanan untuknya. Pada tahun 1932, Raja Buntal akhirnya diperbolehkan pulang ke Sumatra dan ditempatkan di kantor Residen di Sibolga. Setahun kemudian, ia pindah ke Tarutung untuk bekerja sebagai pegawai negeri di kantor Asisten Residen Bataklanden (Locher-Scholten 2020:162–3).
Kepulangan Buntal ke tanah kelahirannya disambut hangat oleh penduduk setempat. Karl Helbig menggambarkan suasana tersebut, “jalan dipadati kerumunan orang Batak yang dengan antusias ingin melihat ‘rajanya,’ mengantarkan sesajen, mengucapkan doa, penuh dengan harapan bahwa ia kembali menjadi rajanya” (Deli Courant 21-02-1933).
Kendatipun kepulangan Buntal ke Tapanuli tidak menimbulkan gejolak apa-apa, surat kabar De Sumatra Post 17-11-1933 menyuarakan kekhawatiran bahwa kedatangannya malahan bisa menimbulkan kerisauan di Tanah Batak:
Kini kita hidup di dalam masa ketenteraman, termasuk di Sumatera. Namun, sekali-sekali muncul di sebagian pulau ini pemberontakan yang membara di berbagai tempat seakan-akan tanpa hubungan antara peristiwa tersebut. Ketidaknyamanan ada di mana-mana seolah-oleh terbawa angin.
Bagaimana pula yang akan terjadi dengan Karel Bu[n]tal di Tanah Batak? Apakah hanya kepala adat yang belum beragama yang menganggapnya sebagai rajanya?
Dari sejarahnya kita ketahui bahwa juga di negeri ini sentimen nasional lebih kuat daripada agama. Juga orang Kristen percaya padanya.
Pada tahun 1934 Buntal mencalonkan diri sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat) namun tidak berhasil terpilih; posisi tersebut dimenangkan oleh Abdul Firman Siregar bergelar Mangaraja Soangkupon [11]. Dalam Memorie van Overgave yang dikeluarkan Residen Tapanuli tahun 1936, dilaporkan bahwa keadaan politik tetap tenang. Wilayah ini dianggap sebagai salah satu yang mendapat banyak manfaat dari penjajahan Belanda. Memang cukup banyak orang menyesal bahwa tanah airnya mereka kini berada di bawah kendali bangsa asing yang membebankan pajak dan kerja paksa (rodi) untuk pembangunan jalan. tersedianya akses jalan yang menghubungkan Tanah Batak dengan dunia luar membawa dampak positif. Hal ini membuat kebutuhan sehari-hari, terutama barang impor, menjadi jauh lebih terjangkau daripada sebelumnya.
Barita
Pada Januari 1939, Raja Barita menikah dengan Tiomar boru Manurung, putri Raja Johannes Manurung, Kepala Negeri Parmaksian di Porsea, Kabupaten Toba. Pernikahan tersebut berlangsung meriah dan dihadiri ribuan orang, termasuk Residen (Bupati) Tapanuli, Dr. V.E. Korn, sebagaimana diberitakan oleh De Sumatra Post pada 10 Januari 1939. Surat kabar De Nederlander pada 12 Januari 1940 juga melaporkan acara tersebut secara rinci, mencatat bahwa Raja Buntal bertindak sebagai pembawa acara. Dari pernikahannya, Raja Barita dan Tiomar dikaruniai lima anak laki-laki dan empat anak perempuan.
Sabidan
Tidak banyak yang diketahui tentang kegiatan Raja Sabidan setelah ia kembali dari pengasingan. Sepulangnya ke Tanah Batak, ia membeli tanah di Soposurung, Balige, yang kemudian menjadi tempat peristirahatannya saat wafat pada tahun 1951. Selama masa pengasingan dan juga setelah kemerdekaan, Raja Sabidan bekerja di Bank Rakyat, sehingga kemungkinan besar ia melanjutkan pekerjaan serupa dari tahun 1930 hingga masa kemerdekaan.
Setelah Zaman Belanda Berakhir
Pada tahun 1942 hanya Barita, Buntal, dan Sabidan yang masih hidup, dan tiada di antara mereka yang dapat menikmati hidup yang panjang. Buntal telah meninggal tahun 1943 dalam usia hanya 45 tahun, Sabidan tutup usia tahun 1951 dalam usia kira-kira 56 tahun, dan Barita meninggal tahun 1972 dalam usia sekitar 69 tahun.
Tidak lama setelah Jepang menduduki Indonesia. Buntal menikah dengan Terangir Sembiring, anak Sibayak Sarinembah dari Tanah Karo. Ketika istrinya sedang hamil tua, Karel Buntal meninggal dunia terkena penyakit paru-paru. Anaknya diberi nama Raja Patuan Sori.
“Semasa Raja Boental masih hidup dan Jepang masuk rupanya masih sempat timbul prakarsa untuk ‘merajakan’ Raja Boental sebagai pengganti Sisingamangaradja XII”, tulis Sitor Situmorang (1981:90-96) tetapi rencana itu gagal karena ia meninggal hanya satu tahun setelah Jepang menduduki Indonesia.
Seperti dimuat di dalam kolom ‘Chabar Dukatjita’ di surat kabar Het Nieuwsblad voor Sumatra tertanggal 17 November 1951 (Gambar 11), Raja Sabidan, yang sejak tahun 1949 menjabat sebagai Inspektur Bank Rakyat Indonesia Sumatra Utara, tutup usia pada 11 November 1951 di rumah sakit Deli-Maatschappij (Jl. Putri Hijau, Medan).
Karena Raja Buntal meninggal tidak lama sesudah Jepang mendarat di Indonesia, posisinya diambil alih oleh adiknya, Raja Barita. Di masa kependudukan Jepang, Raja Barita menjadi salah seorang pemimpin lembaga Bapen (Badan Pertahanan Negeri) di Tapanuli (Langenberg 1976:202).
Setelah masa Jepang, Raja Barita terjun di kancah politik. Pada awal masa kemerdekaan ia menjabat sebagai kepala KNI (Komite Nasional Indonesia) sambil merangkap sebagai kepala Partai Nasional Indonesia (PNI) untuk Tapanuli Utara. Sebagai mantan pegawai zaman Belanda, Raja Barita menjadi salah satu tokoh yang mendukung gagasan negara-negara federalis, yang kini kerap disebut sebagai ‘negara boneka Belanda’. Ia diangkat menjadi wakil Tapanuli Utara di Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera yang dibentuk pada April 1946 (Langenberg 1976: 392, 398; Kementerian Penerangan 1953:107). Seperti halnya Raja Buntal yang kurang mendukung pejuang kemerdekaan, Barita pun berpihak pada kelompok federalis yang menolak pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pada tanggal 29 Maret 1949 sebanyak 86 utusan dari berbagai daerah dan suku bangsa berkumpul di Medan. Hadir utusan dari Bangka, Indragiri, Bengkulu, Siak, Bengkalis, Belitung, Jambi, Lampung, Riau, Sibolga, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Sabang, Sumatra Selatan, Sumatra Timur dan Minangkabau. Mereka menghadiri “Muktamar Sumatra” yang digagas Dr. Tengku Mansur, Wali Negara Sumatra Timur, yang mengusulkan bentuk persatuan Sumatra dalam kerangka Negara Indonesia Serikat. Raja Barita bertindak sebagai ketua panitia persiapan Konferensi Sumatra ini (Nieuwe courant 16-03-1949; Het nieuwsblad voor Sumatra 21-03-1949) dan kemudian berangkat ke Batavia dengan tujuan agar Tapanuli mendapat status sebagai daerah istimewa.
Raja Barita tidak hanya menjadi pendukung gerakan pendirian Negara Tapanuli, tetapi Belanda bahkan berencana mengangkatnya sebagai wali negara (presiden) untuk Negara Tapanuli (Langenberg 1976:728). Namun, cita-citanya untuk memimpin Negara Tapanuli pupus dengan adanya Konferensi Meja Bundar, yang menghasilkan kesepakatan Belanda untuk menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1950 dan menjadi negara kesatuan dengan nama Republik Indonesia.
—————᯼————–
LAMPIRAN
Keluarga Singamangaraja
Tanggal dan tahun kelahiran Patuan Bosar gelar Ompu Pulo Batu bermarga Sinambela tidak diketahui dengan pasti. Demikian pula, tanggal dan tahun kelahiran anak-anaknya tidak tercatat jelas. Tanggal 18 Februari 1845 kini sering disebut sebagai tanggal lahir Singamangaraja, tetapi tidak ada dasar ilmiah yang kuat untuk asumsi ini. Tahun kelahirannya diperkirakan antara 1845 dan 1849, dan ia menjadi Singamangaraja terakhir setelah ayahnya, Raja Sohahuaon Sinambela, wafat pada tahun 1873. Ia meninggal pada tanggal 17 Juni 1907 di daerah Aek Sibulbulon dekat Pearaja, Kecamatan Parlilitan, Kabupaten Humbang Hasundutan. Jenazahnya awalnya dimakamkan di Tarutung, Kab. Tapanuli Utara, lalu dipindahkan ke Soposurung, Balige, Kab. Toba, pada tahun 1953.
Menurut catatan Batakcollectie H.J.A. Promes di Perpustakaan Universitas Leiden Or. 788-28, Singamangaraja mempunyai sembilan anak perempuan (♀︎), dan tujuh atau delapan anak laki-laki (♂︎) dari enam istri. Sangat sedikit yang diketahui tentang anak-anak perempuannya, karena pada masa itu baik Belanda maupun masyarakat Batak cenderung memandang perempuan sebagai pendamping laki-laki. Hal ini membuat catatan tentang kesembilan putrinya dan para istri Singamangaraja menjadi terbatas.
Istri
- Boru Simanjuntak bernama Panusur adalah anak O.R. Singa dari Sihatondoan (Adniel Lumbantobing 1967:81). Menurut Malau (1997:85) “diceraikan saat masih di Bakkara. Anaknya ialah Rinsan.” Anaknya: 0♂︎|1♀︎.
- Boru Sagala bernama Si Sailan (3♂︎|6♀︎) adalah saudara kandung R. Panggiling jaihutan di Samosir. Ia ditangkap Christoffel tanggal 12 Mei 1907 (Arnhemsche courant 22-06-1907) di dekat sungai Pencinaron.
- Boru Nadeak (3♂︎|2♀︎) bernama Natingka Naibarita Lobi. Ia saudara kandung Panuasa Nadeak (Ompu Parik) dari Tanjung Bunga, dekat Pangururan. Boru Nadeak meninggal di Pematang Siantar pada tanggal 12 April 1924 (Paroehoem 1938:105).
- Boru Situmorang (1♂︎|0♀︎) adalah anak seorang Raja Lontung dari Samosir. Ia meninggal sebelum 1907.
- Boru Siregar (2♂︎|0♀︎) adalah janda Raja Parlopuk Sinambela, seorang abang Singamangaraja. Dua anak yang dilahirkan Boru Siregar sebelum Raja Parlopuk meninggal, bernama Raja Ama Pulo dan Raja Himpang.
- Boru Berutu (0♂︎|0♀︎) yang bernama Si Tenna, anak partaki Parjolong dari Pakpak.
Anak laki-laki
- Patuan Nagari (Sutan Nagari) adalah anak laki-laki sulung dari boru Sagala. Ia mati ditembak 17 Juni 1907 di hutan Pearaja, Kec. Parlilitan. Namun, menurut Gent (1923:72) Sutan Nagari mati ditembak bersama 19 korban lainnya tanggal 24-09-1906 di Kuta Taraju (Pakpak). Istrinya, Si Nainga (nama baptis Katarina) boru Situmorang ditangkap dan diinternir di Tarutung. Mereka punya anak yang meninggal ketika kelompok Singamangaraja dikejar. Guru zending Metzler melaporkan Mei 1917 bahwa seseorang mendatangi neneknya, boru Sagala, yang diinternir di Tarutung, mengaku sebagai cucunya – dan dengan demikian maka ia berhak atas warisan ayahnya. Namun cerita tersebut ternyata palsu (De Sumatra Post 17-09-1917).
- Raja Patuan Anggi (Sutan Anggi; Tuan Anggi) adalah anak sulung boru Nadeak. Oleh berbagai surat kabar (mis. Arnhemsche Courant 22-06-1907) ia dilaporkan ditangkap bersama dengan Mat Sawang. Pada hal ia turut tewas bersama dengan ayahnya dan saudaranya Sutan Nagari tanggal 17-6-1907. Tanggal 21 mayat ketiga korban itu dibawa ke Tarutung (Bataviaasch Nieuwsblad 19-08-1907).
- Raja Sabidan dengan nama baptis Willem adalah anak kedua boru Nadeak. Sabidan nikah dengan Rafiah boru Daulae, putri Sutan Mangaraja Enda Mora, jaksa di Pintu Padang (Padang Sidempuan). Mereka tidak memiliki keturunan. Raja Sabidan meninggal di Medan tahun 1951 pada usia sekitar 60 tahun. Ia dimakamkan di Soposurung. Menurut Tobing (2008:99) Sabidan lahir sekitar 1895 di Pearaja, Kec. Parlilitan.
- Raja Pangkilim lahir sekitar 1898 di Pearaja (Tobing 2008: 99). Bulan Oktober 1907 ia ditangkap oleh Partaki (raja) Si Habong-Habong (De Preanger Bode 16-12-1907) dan dibawa ke Tarutung. Anak boru Siregar ini dibaptis dengan nama David. Menurut UBL Or. 788-28 Pangkilim meninggal dalam usia masih muda di Bogor, sekitar tahun 1930-an.
- Raja Buntal diperkirakan lahir sekitar tahun 1897–1899 (Sidjabat 1983:298) di Pearaja. Anak keenam boru Sagala ini dibaptis di Tarutung dengan nama Karel. Ia meninggal tahun 1943.
- Raja Barita dengan nama baptis Hendrik adalah anak boru Sagala. Menurut Tobing (2008:99), ia lahir sekitar 1905 di Pearaja, Dairi dan meninggal tahun 1972 di Medan.
- Raja Pangarandang dengan nama baptis Oscar meninggal semasa lajang di Kudus (Jawa Tengah) pada tanggal 27-12-1929. Ia adalah anak kelima boru Nadeak. Menurut Tobing (2008, hlm. 99), ia lahir sekitar 1907 di Pakpak. Pangarandang meninggal pada tahun 1929.
- Menurut H.J.A. Promes (UBL Or. 788-28), Adniel Lumbantobing (1967:81) dan Lukas (2011:164) terdapat satu lagi anak Singamangaraja bernama Jongok sebagai anak tunggal boru Situmorang yang meninggal dalam usia anak-anak semasa perjuangan Singamangaraja.
Anak perempuan
Anak perempuan dari boru Simanjuntak satu (No. 1), dari boru Sagala enam (2–7), dan dari boru Nadeak dua (8–9).
- Rinsan merupakan putri sulung Singamangaraja dari istrinya Boru Simanjuntak. 17-06-1907 ia ditangkap dan diinternir di Tarutung. [12]
- Sunting Mariam (Nai Rintang) adalah anak kedua dari Boru Sagala. Ia diinternir di Tarutung. 1918 Sunting Mariam diperbolehkan “kembali ke tempat tinggal semula” (Bataviaasch nieuwsblad 02-10-1918). Menurut Tobing (2008, hlm. 99) ia lahir sekitar 1892.
- Lopian, anak ketiganya, menurut tradisi lisan ikut mati tertembak bersama ayahnya semasa umur sekitar 15–17 tahun pada tanggal 17-06-1907. Nama Lopian tidak disebut di sumber-sumber Belanda. Namun, De Preanger-bode (21-06-1907) menyebut bahwa “lima anak Singamangaraja ditangkap. Satu di antaranya mengalami kecelakaan sehingga terluka.” Tidak ada berita selanjutnya mengenai anak yang satu ini, dan malah tidak disebut apakah anak itu laki-laki atau perempuan. Ada kemungkinan bahwa anak yang mengalami kecelakaan tersebut—mungkin kena tembak secara tidak disengaja—adalah Lopian yang kemudian meninggal akibat luka yang dideritanya.
- Saulina (Nai Intan) adalah anak boru Sagala. Tobing (2008: 99) menyebutnya “Si Saul” yang, menurutnya, lahir sekitar 1898)
- Sahudat adalah anak boru Sagala yang meninggal dalam usia muda di Tarutung. Menurut Tobing (2008: 99), yang keliru mengeja namanya Sahudal, ia lahir sekitar 1901.
- Tambok (Maria Tambok), anak dari Boru Sagala, tidak mempunyai keturunan. Ia meninggal tahun 1965 (Waspada 23-12-2020). Menurut Tobing (2008:99) ia lahir sekitar 1905.
- Mangindang, anak boru Sagala, meninggal dalam usia anak-anak di Tarutung. Menurut Tobing (2008:99) ia lahir sekitar 1907 di Pakpak.
- Purnama Rea (Nai Mangisi) Sinambela adalah anak ketiga Boru Nadeak. Pada tahun 1907 ia berumur kira-kira delapan atau sembilan tahun, kira-kira sebaya dengan Hendrik Barita. Ia menikah dengan Raja Parulian Simorangkir, pegawai di kota praja Pematang Siantar. Anak perempuan mereka bernama Mangisi boru Simorangkir yang menikah dengan dr. Luhut Lumban Tobing di Pematang Siantar [13]. Menurut Tobing (2008:98) Purnama Rea lahir sekitar 1899 di Pearaja.
- Anak keempat boru Nadeak bernama Nagok (Nai Poltak). Menurut Tobing (2008:99) ia lahir sekitar 1903 di Pearaja.
Daftar Pustaka
Baharadja. 1939. “R. Singamangaradja X (O. Poelo Batoe), martoeat rinding laho martaban toean Puse sian Bahal-Batoe”. Partoengkoan: Adat, Patik dohot Oehoem. No. x. [lanjutan dari Partoengkoan no. 22]. Pematang Siantar.
Dorp, G.C.T. van. 1917. De buitenbezittingen: 1904 tot 1914. Parts 1-2 of Mededeelingen van de Afdeeling Bestuurszaken der Buitengewesten. Encyclopaedisch Bureau. hlm.153.
Gent, Lambertus Franciscus van. 1923. Nederland–Menado (1896-1921). Dimelajoekan oleh Balai Poestaka. Weltevreden: Balai Poestaka.
Helbig, Karl. 1935. “Der Singa Mangaradja und die Sekte der Pormálim bei den Batak”, Zeitschrift für Ethnologie, 67. Jahrgang, hlm. 88–103.
Hirosue, Masahi 1988. Prophets and followers in Batak millenarian responses to the colonial order: Parmalim, Na Siak Bagi and Parhudamdam, 1890-1930. Australian National University, Canberra.
Kementerian Penerangan (1953) Republik Indonesia : Propinsi Sumatera Utara, Medan : Kementerian Penerangan
Köhler, H. J. 1926. Habinsaran, het land van den zonnestraal: mijn leven onder de Bataks. Zytphen : W.J. Thieme.
Langenberg, Michael van. 1976. National revolution in north Sumatra : Sumatera Timur and Tapanuli, 1942-1950. Ph.D. thesis, The University of Sydney.
Locher-Scholten, Elsbeth. 2020. “Na het imperialisme: De kinderen van een gesneuvelde guerrillaleider in Midden-Sumatra”. Di: Anita van Dissel, Jan Hoffenaar & Elsbeth Locher-Scholten. Wat een vondst! Verhalen uit de geschiedenispraktijk. Nederlands Instituut voor Militaire Historie, Den Haag.
Loembantobing, Arsenius. 1931. Si Singa-Mangaradja. Hinaroearhon ni anakna Maroeliamin Loembantobing. Sibolga..
Lukas, Helmut. 2011. Ungleichheit und Egalität: Die Sozialstruktur der vorkolonialen Toba-Batak Samosirs (Sumatra) im Vergleich zu Gesellschaften am Festland Südostasiens. Wien: Verlag der Österreichischen Akademie der Wissenschaften.
Lumbantobing, Adniel (1967) Sedjarah Si Singamangaradja I-XII: Cetakan ke-VI, telah direvisi. Medan : Marpaung. [Cetakan Pertama 1951].
Malau, Gens & Payaman J. Simanjuntak (1997). Lopian Boru Sinambela: Gadis pejuang dari tanah Batak (Dolok Pusuk Buhit). Yayasan Taotoba Nusabudaya bersama Partukkoan Dalihan Natolu.
Meerwaldt, J.H. 1908. “De laatste Singamangaradja”. De Rijnsche Zending 1908, hlm. 2–11; 82–88; 98–100; 113–120.
Neumann, J.H. 1918. ”De Perhoedamdam in Deli” Mededelingen van wege het Nederlandse Zendelinggenootschap No. 62, hlm. 185–90.
Paroehoem, Hasan gelar Soetan Pane. 1938. Korte legende van een deel der stamvaders der bewoners van Tapanoeli en Oostkust van Sumatra Pematang Siantar.
Sidjabat, W. Bonar. 1982. Ahu Si Singamangaraja: Arti Historis, Politis, Ekonomis dan Religius Si Singamangaraja XII. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Simbolon, Parakitri Tahi. Menatap Singamangaraja XII di Panggung Sejarah: Untuk Peringatan 100 Tahun Gugurnya Pahlawan Nasional Raja Singamangaraja XII. Medan 2 Juni 2007.
Situmorang, Sitor (1981) Sitor Situmorang, seorang sastrawan 45, penyair Danau Toba. Jakarta : Penerbit Sinar Harapan.
Tobing, Tiurma L. (2008). Raja Si Singamangaraja XII. [Jakarta] : Departmen Kebudayaan dan Pariwisata. Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala. Direktorat Nilai Sejarah.
V. (1908). “Nieuwste berichten uit onze oost”. De Rijnsche zending. Tijdschrift ter bevordering van het christendom in Nederlandsch Indië, No. 39, hlm. 121–125.
Verslag (1925) Verslag van Bestuur en staat van Nederlandsch-Indië, Suriname en Curacao 1925. I. Nederlandsch-Indië.