Uli Kozok
University of Hawai’i at Mānoa, 2540 Maile Way, Spalding 255, Honolulu HI 96822, USA
kozok@hawaii.edu
Mewujudkan Pax Neerlandica
Menjelang awal abad ke-20, Belanda hendak mewujudkan Pax Neerlandica dengan mempersatukan semua daerah yang masih merdeka ke dalam wilayah Hindia Belanda. Hingga 1904 hampir keseluruhan wilayah Sumatera Utara sudak ditaklukkan kecuali beberapa daerah di Pakpak, Humbang, dan Pulau Samosir yang masih di bawah pengaruh Singamangaraja. Alasan maka daerah itu belum dijamah terutama karena kawasan di sekitar Danau Toba kurang menarik bagi Belanda karena tidak ada sumber daya alam yang layak dieksploitasi, baik hayati maupun non-hayati.
Salah satu alasan maka Singamangaraja belum berhasil ditangkap karena Belanda tidak tahu seperti apa raut muka atau postur tubuhnya, karena ia selalu gonta-ganti tempat persembunyian, dan terutama karena ia begitu dihormati oleh masyarakatnya:
Menurut surat kabar De Sumatra Post tertanggal 28 Maret 1907, sudah lama ada desas-desus bahwa Kapten Hans Christoffel, perwira andalan asal Swiss, akan ditugaskan untuk mendamaikan daerah Batak yang masih meredeka dengan menangkap Singamangaraja.
Sebagaimana sudah diketahui, Si Singamangaraja telah berkeliaran di tengah-tengah Pulau Sumatra selama beberapa tahun. Kadang-kadang ia muncul di Tanah Karo, kemudian di daerah Pakpak, Simsim, atau Toba, sementara pasukan kita sejauh ini belum mampu menangkapnya. Kepribadian yang luar biasa ini memiliki aura mistik di sekelilingnya. Tidak ada yang tahu seperti apa wajah atau rupanya, di mana tempat persembunyiannya, atau seberapa jauh pengaruhnya. Tampaknya orang Batak memujanya dengan disertai sedikit takhayul. Jika tidak, bagaimana mungkin belum ada yang melaporkan keberadaannya kepada mata-mata Kompeni?
Apakah dia benar-benar berbahaya seperti yang sering digambarkan masih bisa diragukan. […] Meskipun ia tidak menyebabkan kerugian materi yang besar, melalui pengaruh spiritualnya, ia membangkitkan perlawanan terhadap pemerintah kita. Dalam hal ini, ia pasti menimbulkan kerugian, setidaknya memberikan pengaruh yang menghambat konsolidasi situasi politik di sekitar Danau Toba.
Jika Christoffel berhasil menangkapnya—dan siapa yang masih meragukannya—maka hal itu akan menjadi pencapaian penting demi kedamaian dan keamanan di daerah yang sebagian besar baru ditaklukkan (Sumatra Pos 28/03/1907).
Singamangaraja dianggap tidak terlalu berbahaya, namun ia harus ditangkap bukan hanya demi terwujudnya Pax Neerlandica, tetapi juga karena ia sudah beberapa kali menyerang pos penginjilan serta fasilitas pemerintah di daerah Toba, Uluan dan Silindung yang pada saat itu sudah menjadi bagian Hindia-Belanda.
Oleh sebab itu, pada tanggal 1 Maret 1907, Asisten-Residen Bataklanden E.J. Gerrits mengimbau kepada pemerintah pusat di Batavia untuk mengambil tindakan:
Keadaan yang luar biasa menuntut adanya tindakan yang luar biasa pula: semua oknum yang mengganggu perlu disingkirkan untuk sementara, dan diperlukan beberapa brigade marsose di bawah pemimpin yang dapat diandalkan, seperti Kapten Christoffel, yang perlu diberi wewenang seluas-luasnya. Setelah itu, barulah ada harapan bahwa penduduk dan para pemangku kepentingan akan bersikap netral. Hanya itu yang diperlukan untuk menangkap Singamangaraja. (Arsip Nasional Den Haag, Verslag betreffende de brandstichtingen in Oeloean, onderafdeeling Toba; Stevens, 2010: 106).
Sebanyak empat puluh tentara “Ambon” (1) dipilih dari Garnisun Cimahi untuk ditugaskan membantu Kapten Christoffel dalam mencari Singamangaraja (De Locomotief, 27 Maret 1907). Bersama perwira Belanda, Letnan J.H. van Temmen, Christoffel memimpin pasukannya, yang bukan KNIL biasa, melainkan marsose—pasukan khusus untuk mengatasi perlawanan gerilya. Mereka berjalan kaki dengan kelewang sebagai senjata utama dan diperlengkapi dengan bedil canggih Mannlicher M1895. Kapten Christoffel dianggap sebagai perwira yang paling hebat, dan serdadu Ambon, terutama yang bersuku Alfuru, dianggap paling berani. Pasukan elite itu berhasil menyergap Singamangaraja dalam waktu hanya 51 hari..
Pada tahun 1929, tentara kolonial Hindia Belanda menerbitkan sebuah buku pedoman bagi para prajuritnya. Buku tersebut berisi 74 butir nasihat serta contoh tentang ekspedisi militer yang dianggap sukses dan layak dijadikan teladan. Dalam butir No. 31 yang berjudul “Ketekunan dan tekad saat menghadapi kekecewaan dan kelelahan” (Wilskracht een doorzettingsvermogen ondanks vermoeienissen en teleurstellingen), terdapat versi tentara mengenai kematian Singamangaraja (Temmen 1929). Menurut Tampoebolon (1944: 467) dan Pusztai (2012: 66), laporan tersebut diambil dari catatan van Temmen.
Kematian Singamangaraja dari sudut pandang van Temmen
Menurut van Temmen, Singamangaraja ditembak karena menolak melepaskan senjatanya:
Perjalanan dilanjutkan tanpa bersuara karena setiap saat tempat perlindungan [rombongan Singamangaraja] dapat ditemui. Para pekerja paksa diperintahkan untuk mengikuti patroli dari jarak yang jauh dengan bawaan mereka.
Tiba-tiba, yang berjalan paling depan mendengar suara orang menebang kayu. Suasana menjadi tegang. Tanpa bersuara, kolone dibagi menjadi tiga bagian, masing-masing terdiri atas sepuluh orang. Pasukan marsose mengepung tempat persembunyian Singamangaraja sambil menunggu isyarat dari Christoffel, yang berada di bagian tengah, untuk menyerang. Baru berjalan sekitar 30 meter, kedatangan mereka sudah diketahui, sehingga kelompok Singamangaraja bergegas melarikan diri sambil berteriak “Gomponi.” Untung mereka terhalang oleh jurang. Upaya mereka untuk melarikan diri melalui jurang tidak berhasil karena kanan kirinya tertutup.
Sekali lagi, anak sulungnya [Patuan Nagari] berusaha untuk melakukan aksi yang sama seperti sebelumnya dan mulai menembak ke arah kelompok van Temmen [untuk memberi kesempatan ayahnya mencari tempat berlindung]. Namun, karena ia sendiri berlindung di belakang pohon yang kurang besar, ia tewas terkena peluru.
Sementara itu, Singamangaraja ditembak di jurang karena ia menolak melepaskan senjatanya. Selain Singamangaraja, yang gugur adalah dua anak laki-lakinya [Patuan Nagari Sinambela dan Patuan Anggi Sinambela] serta seorang pengikutnya. Anak perempuannya [Rinsan] ditangkap (Temmen 1929: 75–76).
L.F. Van Gent (1876–1961), Letnan Kolonel pada Topografische Dienst (Dinas Topografi Hindia-Belanda), juga berpendapat bahwa marsose yang menembak mati Singamangaraja bertindak untuk membela diri. Gent menyebut prajurit asal “Ambon”, yang sebenarnya berasal dari Minahasa (Sulawesi Utara), dengan nama Rotikan:
Madjoelah ROTIKAN kemoeka menghampiri Si SINGAMANGARADJA, jang memegang seboeah réntjong. Ketika ROTIKAN memerintahkan, soepaja réntjong itoe diboeangkan, maka Si SINGAMANGARADJA poen melompat hendak menikam ROTIKAN. Akan tetapi ROTIKAN ta’ bergerak dari tempatnja, hanja Si SINGAMANGARADJA djatoeh kena témbak dihadapannja (Gent 1923: 65).
Pada tanggal 17 November 1959, Hans Christoffel, yang saat itu berusia 94 tahun, diwawancarai. Berdasarkan wawancara tersebut, dibuat laporan yang diterjemahkan dari bahasa Belanda dan dilengkapi dengan keterangan dalam kurung bersegi oleh penulis. Karena selama ini teks berikut tidak pernah dipublikasikan dalam bahasa Indonesia, kami menyajikan versi lengkapnya. Laporan tersebut dimuat dalam buku “De Laatste Batakkoning” oleh Harm Stevens dkk. (2010: 169).
Christoffel ditugaskan oleh Gubernur Jenderal [Johannes Benedictus van Heutsz] untuk menangkap Singamangaraja hidup-hidup. Kemudian, Christoffel berangkat dengan patrolinya ke dataran tinggi di sekitar Danau Toba [Humbang] dengan harapan menemukan tempat persembunyian Singamangaraja, meskipun Residen [Tapanuli] setempat [Louis Christiaan Welsink] percaya bahwa orang yang mereka cari telah meninggal.
Berkat bantuan mata-mata, Christoffel mengetahui arah pelarian keluarga Singamangaraja. Patroli mengejar hingga tiba di tempat Singamangaraja berada pada malam sebelumnya. Namun, orang yang mengantarkan mereka ke sana tidak dapat ditemukan.
Christoffel kemudian menceritakan bahaya yang dihadapi oleh patroli, yang terpaksa berjalan siang dan malam hari. Menyusuri hutan belantara dengan jurang yang dalam membuat anggota patroli kelelahan, sehingga Christoffel kadang-kadang mengizinkan mereka beristirahat. Akibatnya, jarak antara mereka dengan yang dikejar semakin jauh.
Ketika tiba di sebuah kampung, patroli dibagi menjadi tiga bagian yang berjalan sendiri-sendiri. Christoffel menghadapi masalah karena ia belum pernah melihat Singamangaraja dan tidak berhasil mendapatkan gambaran ciri-ciri tubuhnya. Namun, dari mata-matanya, Christoffel mengetahui perawakan penunjuk jalan yang terakhir memandu kelompok Singamangaraja.
Christoffel kemudian menggunakan siasat. Ia mengeluarkan surat jalan dengan janji bahwa pemegang surat tersebut tidak akan dicekal. Agar tidak diganggu oleh patroli, penduduk ramai-ramai datang meminta surat jalan tersebut. Orang terakhir yang datang untuk mengambil surat jalan adalah penunjuk jalan Singamangaraja, yang membawa dua anak Singamangaraja yang berumur kira-kira delapan tahun.
Dengan menggunakan kedua anak sebagai sandera, Christoffel memaksa penunjuk jalan itu [untuk memberitahu lokasi persembunyian Singamangaraja] dengan janji tidak akan membunuhnya. Akhirnya, penunjuk jalan tersebut membuka mulut dan kemudian diharuskan mendampingi patroli agar ia tidak sempat memperingatkan [kelompok Singamangaraja tentang kedatangan patroli].
Christoffel juga diberitahu bahwa beberapa istri dan anak Singamangaraja telah meninggal selama dalam pengungsian.
Setelah menempuh separuh perjalanan, penunjuk jalan menolak melanjutkan perjalanan, mengatakan bahwa lebih baik mati daripada menjadi pengkhianat. Sementara itu, patroli Christoffel mencari jejak orang berjalan, seperti ranting yang patah, dan kemudian menjejakinya.
Pada malam hari, patroli tiba di tempat persembunyian Singamangaraja. Gubuk Singamangaraja berada di dalam jurang yang tidak terlalu dalam, sekitar 20 atau 30 meter. Seorang anggota patroli menyusuri jurang itu, dan ketika Singamangaraja keluar dari gubuknya, ia memerintahkannya untuk meletakkan senjatanya. Christoffel bergegas ke jurang sambil berteriak, “Jangan tembak.” Namun, tak lama kemudian, Singamangaraja ditembak oleh seorang marsose [Rotikan]. Marsose tersebut kemudian memberikan keterangan sebagai berikut: “Seharusnya ia [Singamangaraja] menyerahkan senjatanya tepat di depan saya, tetapi ketika saya memegang bilahnya dengan satu tangan, Singamangaraja hendak menusukkan pedangnya sehingga secara otomatis saya melepaskan tembakan.” Singamangaraja mati seketika.
Christoffel tahu bahwa kedua anak yang digunakannya sebagai sandera kemudian melanjutkan pendidikan di Batavia untuk menjadi pegawai pemerintahan.
Kematian Singamangaraja dari sudut pandang Rinsan
Selain kedua paparan di atas yang hampir identik, terdapat juga versi lain yang diceritakan oleh Rinsan Sinambela, putri sulung Singamangaraja. Versi ini dimuat oleh Radja H.A. Tampoebolon dalam sebuah artikel berjudul Het Sneuvelen van Si Singa Mangaradja (Wafatnya Si Singamangaraja). Sayangnya, Tampoebolon tidak menjelaskan dari mana ia memperoleh informasinya. Dapat diduga bahwa ia mewawancarai Rinsan secara langsung, namun pada saat ia menerbitkan artikelnya (1944), Rinsan sudah meninggal, sementara Tampoebolon sendiri telah berada di Belanda sejak tahun 1936. Tampaknya, Tampoebolon menggabungkan keterangan dari van Temmen (1929) dengan informasi yang diperolehnya dari Rinsan. Berikut terjemahannya dari bahasa Belanda:
Rinsan berjalan sekitar tiga meter di depan ayahnya dan sedang sibuk mendaki tebing di seberang jurang untuk melarikan diri dari kejaran marsose yang semakin mendekat dan berseru agar mereka berhenti.
Sang Baginda membawa senjata [pedang] yang dapat dilihat dengan nyata. Senjata tajam tersebut berada di dalam sarung di sebelah kiri badan setinggi pinggul, dan tidak dipegangnya. Ia mematuhi perintah [untuk berhenti] dengan dua kali berseru „Ahu Si Singamangaraja!”.
Serdadu yang berhadapan dengan musuh yang sudah menyerah, memerintahkannya — sesuai protokol yang telah dihafalnya — dengan kata: „Tarok rencong, tarok rencong”, supaya ia [Singamangaraja] menaruh [meletakkan] senjatanya. Si Singa Mangaraja yang dengan keliru menganggap bahwa kata Melayu „tarok” (meletakkan) sama dengan bahasa Batak „tarik” (menarik), berseru sekali lagi, sebelum mematuhi perintah itu, „Ahu Si Singamangaraja.”
Marsose tersebut mengulangi perintah untuk meletakkan senjatanya, lagi-lagi menggunakan kata “tarok” yang kembali diartikan keliru oleh Singamangaraja sebagai “tarik.” Singamangaraja, dengan keyakinan bahwa dia diperintahkan untuk menarik pedang dari sarungnya untuk menyerahkannya kepada marsose, ragu-ragu melakukannya.
Ragu-ragu karena pedang tersebut merupakan pusaka sakti dengan nama „rompu morsada”, yang hanya boleh diserahkan kepada kepala musuh (dalam hal ini Kapten H. Christoffel) sebagai tanda penyerahan yang mutlak, sedangkan di sini ia berhadapan hanya dengan seorang marsose Ambon.
Tentu saja marsose Ambon itu [Rotikan] tidak memahami bahwa senjata tersebut adalah pusaka yang sakti. Sebagai seorang serdadu, dia harus mengikuti instruksinya, salah satunya adalah „Musuh yang bersenjata, tetapi tidak menggunakannya, harus segera diambil senjatanya” [berarti musuh tersebut tidak boleh dibunuh].
Si Singamangaraja memegang pedangnya pada pegangannya dan menyerahkannya dengan sarungnya terlebih dahulu. Marsose memegang sarungnya, namun saat itu terdengar teriakan Christoffel yang berada di belakangnya dan tidak dapat melihat kejadian karena terhalang oleh semak-semak: „Jangan pasang, jangan pasang!” [jangan tembak!].
Si Singamangaraja yang juga mendengar perintah ini, percaya bahwa marsose itu diperintahkan oleh atasannya untuk tidak menembaknya dan bahwa dia [Christoffel] memerintahkannya untuk menyerahkan senjata saktinya kepadanya…
Akibatnya, Singamangaraja memegang pedangnya dengan lebih kuat. Tindakan tersebut diinterpretasikan oleh marsose sebagai upaya untuk mencabut pedang dari sarungnya guna menikamnya.
Secara otomatis, marsose itu melakukan apa yang telah berulang kali dilakukannya saat berperang di Aceh… Dalam sekejap, jari telunjuknya menarik pelatuk senjata api karabin model M 95 yang tergantung di bawah tangan kanannya, menyebabkan peluru menembus jantung Singamangaraja… (Tampoebolon 1944: 480–482).
Tampoebolon juga mencatat paparan Rinsan, yang menurutnya adalah “anak sulung dan anak kesayangan” Singamangaraja (hlm. 462):
Aku berjalan kira-kira tiga meter di depan ayah sambil memanjat tebing ketika tiba-tiba terdengar teriakan dari belakang dalam bahasa Melayu, “Berhenti lekas, berhenti lekas, nanti saya pasang.” Karena mengira aku yang diperintahkan berhenti, aku pun berhenti. Namun, saat aku menoleh, tidak ada siapa-siapa di belakangku, maka aku meneruskan perjalanan. Lalu, aku mendengar ayah berteriak, “Ahu Si Singamanagaraja! Ahu Si Singamanagaraja!” yang segera disambut oleh gomponi [Belanda] dengan perintah, “Tarik rencong, tarik rencong!”.
Lalu aku mendengar ayah berteriak sekali lagi “Ahu Si Singamanagaraja”, dan setelah itu aku hanya mendengar suara tembakan dan orang berteriak. Di situ langsung terasa firasat buruk di hatiku. Ketika mau berbalik, aku ditahan oleh seorang marsose dan dibawa ke hadapan orang berkumis panjang itu [Christoffel]. Dia sedang sibuk menggeledahi mayat ayah. Aku tidak mengerti bagaimana ayah setelah sudah memberitahu siapa dia, dan setelah disuruh menarik dan menyerahkan pedangnya, malah ditembak mati (Tampoebolon 1944: 468).
Ternyata kita mempunyai dua versi yang saling bertentangan. Apakah Singamangaraja terpaksa dibunuh karena menyerang marsose? Ataukah ia dibunuh meskipun sudah menyerahkan dirinya?
Interpretasi Baru
Letnan Satu J.H. van Temmen, yang berperan sebagai wakil komandan dalam ekspedisi Christoffel tahun 1907, mencatat bahwa Singamangaraja “menolak meletakkan senjata” (Temmen 1929: 76) ketika dikepung oleh marsose di jurang dekat Aek Sibulbulon.
Sementara itu, menurut Tampoebolon, seorang marsose menembak Singamangaraja sebagai tindakan membela diri karena merasa terancam. Namun, kita tahu bahwa marsose, terutama dalam Perang Aceh, tidak selalu mematuhi aturan yang berlaku. Lagi pula, pasukan “Kolone Macan” dipimpin oleh Christoffel yang dikenal kejam, sehingga peneliti Belanda J. Klein-Nagelvoort meragukan keakuratan kisah yang diceritakan oleh Christoffel, Tampubolon, dan van Temmen. Setelah pensiun dan menikah di Antwerpen, Christoffel membakar semua catatan pribadinya, mungkin agar tidak diketahui apa saja yang telah ia lakukan di masa lalu.
Ada beberapa hal yang menarik perhatian kita. Hingga kini, tidak pernah terungkap bahwa marsose Lohy dan Rotikan dianugerahi penghargaan Ridder Kelas 4 di Militaire Willems Orde berdasarkan beslit tertanggal 7 Maret 1908, No. 55. Penghargaan tersebut diberikan terkait dengan tindakan Lohy yang membunuh putra sulung Singamangaraja, serta peran Rotikan dalam pengepungan dan pembunuhan Singamangaraja.
Klein Nagelvoort (2017) menduga bahwa pembunuhan Singamangaraja dilakukan dengan sengaja. Penugasan Hans Christoffel, yang terkenal bengis dan tidak mengenal ampun, untuk menangkap Singamangaraja “hidup-hidup” justru mengindikasikan bahwa KNIL dan pemerintah Hindia-Belanda memang tidak berniat untuk menangkap Singamangaraja dalam keadaan hidup. Ada kemungkinan bahwa versi resmi KNIL telah direkayasa, terutama setelah kita membaca kesaksian dari anak perempuan kesayangan Singamangaraja, Rinsan boru Sinambela, yang dengan tegas menyatakan bahwa ayahnya ditembak mati meskipun ia sudah bersedia menyerahkan diri.
Yang juga mengarah pada dugaan pembunuhan yang disengaja, dan sering kali diabaikan, adalah fakta bahwa dua marsose [Rotikan dan Lohy] dianugerahi penghargaan Willemsorde. Selain mereka berdua, ada dua marsose lain yang juga hadir, sehingga Singamangaraja praktis tidak punya pilihan lain [selain menyerah]. (Klein Nagelvoort 2017: 54).
Penulis sependapat dengan interpretasi Klein Nagelvoort. Meskipun secara resmi Christoffel diberi perintah untuk menangkap Singamangaraja “hidup-hidup”, ia lebih cenderung memilih musuhnya mati daripada hidup. Dalam situasi sudah dikepung oleh empat marsose, sulit membayangkan bahwa Singamangaraja masih berusaha melawan dan berusaha membunuh para marsose yang menangkapnya. Oleh karena itu, penulis lebih cenderung mempercayai kisah yang disampaikan oleh Rinsan.
Siapa membunuh Singamangaraja?
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, Singamangaraja dibunuh oleh marsose Rotikan. Namun, dalam literatur berbahasa Indonesia, nama Rotikan hampir tidak pernah disebut. Dalam buku dan artikel berbahasa Indonesia, terdapat tiga versi yang berbeda-beda mengenai kejadian tersebut.
Hans Christoffel
Salah satu versi yang sering kita dengar adalah bahwa Christoffel sendiri yang membunuh Singamangaraja. Menurut Tampoebolon, versi ini sering muncul terutama di kalangan yang masih setia kepada Singamangaraja:
Asa di na naeng tihamon ni Ompunta Si Singa Mangaraja i, musuna i, si bontar mata i, hona pelor ni bodil setan i ma nasida, gabe mulak ma tondi ni Rajanta na maulibulung i tu tano na hinalungunhonna i, tu tano ni Ompunta sijolo-jolo tubu, tu tano Toba on (Tampoebolon 1944: 468).
Terjemahannya: Ketika Singamangaraja berusaha menikam mati musuhnya yang berkulit putih, dia terkena peluru bedil setan, dan arwah raja terhormat kita kembali ke tanah leluhurnya di Toba..
Menurut Adniel Lumbantobing (1951: 130) “Baginda Si Singamangaradja sendiri ditembak oleh Kapten Christoffel.” Dada Meuraxa (1973: 506) juga menulis “menurut cerita Christoffel dia sendiri langsung menembak Singamangaraja.”
Keterangan keliru yang sama juga terdapat di berbagai publikasi lainnya termasuk di antaranya buku pelajaran untuk anak SD. Di situ tertulis: “Ompu Pulo Batu wafat di Dairi Sidikalang pada tanggal 17 Juni 1907, karena dibunuh oleh tentara Belanda yang bernama Capten [sic] Christoffel.”
Sekarang kita tahu bahwa bukan Christoffel atau van Temmen membunuh Singamangaraja melainkan seorang anggota marsose pribumi.
Marsose Ambon Hamisi
Di antara ketiga versi yang keliru, yang paling populer adalah versi yang dikemukakan oleh Prof. Sidjabat. Sidjabat dengan tegas menolak versi Adniel Lumbantobing karena memang tidak memiliki dasar yang kuat. Dalam bukunya “Ahu Si Singamangaraja,” Sidjabat yakin bahwa yang menembak mati Singamangaraja adalah fusilier (juru tembak) Hamisi, seorang Alifura dari Tobelo-Halmahera (Maluku).
Oleh atasan dan kawan-kawannya segera pula Hamisi ditanyai, mengapa dia tak menangkap Si Singamangaraja hidup-hidup pada pertempuran itu, Hamisi menerangkan, sebagaimana terbaca dalam keterangan Christoffel, “Ketika Hamisi (nama ini ditemukan sebagai hasil riset penulis di Maluku Utara 1972) menyerukan ‘tarok rencong, tarok rencong’ Si Singamangaraja berbuat seolah-olah hendak memberikan Piso Gaja Dompaknya” (Sidjabat 1983: 296).
Ada dua masalah di sini: pertama, Christoffel tidak pernah menyebut nama pemunuh Singamangaraja, dan masalah yang kedua: Sidjabat tidak mendapatkan nama Hamisi dari sumber tertulis, tetapi dari “hasil riset penulis di Maluku Utara.”
Riwayat Hamisi dengan mudah dapat dilacak karena Hamisi disebut di dalam surat kabar Hindia Belanda setiap kali ia mendapatkan penghargaan. Hamisi menjadi fuselier (juru tembak) dengan nomor stambuk 38368 pada pasukan marsose. Ia ikut pada ekspedisi militer di Lombok Juli hingga Desember 1894 dan berkat keberaniannya ia memperoleh penghargaan sebagai Ridder Militaire Willems-Orde Kelas 4 berdasarkan keputusan Kerajaan Belanda tertanggal 09-04-1895 No. 32 (De Locomotief 06-07-1895). Hamisi meninggal tahun 1938.
Hamisi juga ikut berperang di Aceh tahun 1901. Pada bulan Maret 1902 ia mendapatkan penghargaan karena keberanian dan kesetiaan (Soerabaijasch Handelsblad 24-03-1902). Gent (1924: 25) juga menyebut Hamisi bersama dengan Lohy (Lohy ikut ekspedisi Christoffel, Hamisi tidak) berhubung dengan pertempuran dekat Pulau Naleuëng dan Jeumpa di Aceh 28 April dan 4 Mei 1901:
Ketika mengedjar moesoeh itoe HAMISI no. 38368 (E.V.) jang selaloe dimoeka dan menoendjoekkan keberaniannja. LATUMETEN no. 58613 dan LOHY no. 53730 kedoea-doeanja beroléh Bintang Keberanian dan Kesetiaan. Meréka kedoeanja berloemba-loemba menolong komandannja SCHUMACHER, ketika menjerang moesoeh itoe. Karena ketjakapannjalah maka moesoeh lari, meninggalkan 12 orang kawan-kawannja jang mati, serta sendjata tadjam (Gent 1924: 25).
Dari segi itu dapat dimengerti kalau Sidjabat keliru menduga bahwa Hamisi ikut ekspedisi Christoffel.
Seandainya Sidjabat benar bahwa Hamisi membunuh Singamangaraja maka Hamisi pasti akan mendapatkan penghargaan setelah ekspedisi militer 1907. Namun yang mendapatkan penghargaan justru Rotikan dan Lohy. Juga, nama Hamisi tidak muncul di dalam surat kabar Hindia Belanda yang selalu mencetak berita tentang penghargaan yang diberikan oleh pemerintah Belanda. Yang disebut hanya Lohy dan Rotikan.
Setelah tahun 1902 tidak ada kabar apa-apa tentang Hamisi di media masa. Juga di dalam laporan-laporan Belanda tentang ekspedisi militer melawan Singamangaraja, nama Hamisi tidak sekali pun disebut. Alasannya karena Hamisi memang tidak ikut ekspedisi Christoffel untuk menangkap Singamangaraja.
Kopral Souhoka
Menurut Wikipedia Indonesia (dikutip Juli 2023) “Kopral Souhoka, seorang penembak jitu pasukan Marsose, mendaratkan tembakan ke kepala Sisingamangaraja XII tepat di bawah telinganya”. Wikipedia menyebut Okezone sebagai sumber! Okezone (17-06-2020) malahan membumbui kisah tersebut dengan menambahkan kisah bohong bahwa Singamangaraja “berhasil dilumpuhkan dengan peluru tajam yang sebelumnya dilumuri darah babi”!
Okezone tidak menyebut sumber informasinya, tetapi kita tahu bahwa keterangan tersebut diambil dari buku “Perjuangan pahlawan nasional Sisingamangaraja XII” yang ditulis oleh Augustin Sibarani (1980). Sibarani mengakui bahwa ia mendapatkan informasi tersebut dari Ricardo Siahaan yang ikut ekspedisi Christoffel. Siahaan “adalah sahabat baik dari bekas kopral Souhoka, itu anggota bekas tentara Belanda yang turut menembak mati Sisingamangaraja di dalam gua dekat aek Sibulbulhon” (Sibarani 1980: 20). Sekiranya Souhoka memang menembak mati Singamangaraja maka namanya pasti disebut entah di dalam salah satu laporan atau di dalam surat kabar Hindia Belanda. Setelah memeriksa sekian banyak sumber, termasuk berita belasan surat kabar Hindia-Belanda yang tercantum di delpher.nl ternyata tidak ada seorang pun bernama Souhoka yang disebut berkaitan dengan Singamangaraja.
Johannes Rotikan
Sidjabat adalah seorang peneliti yang hasil tulisannya pada umumnya dapat diandalkan karena ia menggunakan berbagai sumber termasuk tulisan yang berbahasa Belanda dan Jerman, dilengkapi dengan hasil wawancara narasumber. Ternyata di antara 240 buku dan artikel yang dikutip Sidjabat, tidak terdapat artikel karangan van Gent yang berjudul “Nederland-Menado (1896-1921)” (Gent 1923). Di dalam artikelnya van Gent menyebut Fuselir (juru tembak) Johannes Rotikan dari Minahasa, Sulawesi Utara, sebagai pembunuh Singamangaraja.
Rotikan mendaftarkan diri pada militer Belanda Selama bertahun-tahun ia menjadi anggota marsose, dan tahun 1907 ia dipilih menjadi salah seorang marsose di bawah komando Christoffel.
Sembilan bulan setelah berahir peperangan melawan Singamangaraja, Rotikan mendapatkan penghargaan sebagai ridder Militaire Willems-Orde kelas 4 untuk “jasa yang luar biasa di Residensi Tapanuli pada paruh pertama tahun 1907” (Nederlandsche Staatscourant 09-03-1908).
Ketika memperoleh penghargaan sebagai ridder, Rotikan disebut sebagai orang yang membunuh Singamangaraja. Di dalam Arsip Nasional di den Haag terdapat dokumen toeg. nr. 2.02.14 KvK inv. nr. 5399 KB 07-03-1908 No 55. Di dalam dokumen tersebut tertera bahwa Rotikan “menonjol pada operasi militer di Keresidenan Tapanuli, terutama pada paruh pertama tahun 1907. Pada tanggal 17 Juni 1907 tempat persembunyian Si Singamangaraja diserang dekat Pea Raja, Dairi. Ia menunjukkan keberanian yang luar biasa ketika mengepung raja Si Singamangaraja dengan bantuan 3 marsose lainnya. Ia berdiri tanpa gentar ketika Pangeran tiba-tiba menyerangnya dengan sebuah rencong [pedang] dan kemudian dengan tenang menembaknya” (Klein-Nagelvoort 2017:53).
Kenyataan bahwa Singamangaraja dikepung oleh empat orang marsose yang semua bersuku bangsa Minahasa selama ini juga tidak diketahui meskipun disebut di dalam tulisan van Gent lebih dari seratus tahun yang lalu:
Ia dikelilingi oleh marechaussee J. Rotikan no. 59865 (M. W . O. 4), Watulingas no. 55740, Karundung no. 55149 dan Sualang no. 60445 (ketiganya Br.E.v.M.e.T.), madjoelah Rotikan ke moeka menghampiri Si Singamangaradja, jang memegang sebuah rentjong. Ketika Rotikan memerintahkan, soepaja rentjong itoe diboeangkan, maka Si Singamangaradjapoen melompat hendak menikam Rotikan. Akan tetapi Rotikan tak bergerak dari tempatnja, hanya Si Singamangaradja djatoeh kena tembak dihadapannja (van Gent 1923: 65).
Dengan adanya dokumen dari Arsip Nasional Belanda dan juga keterangan van Gent maka terbukti bahwa yang membunuh Singamangaraja bukan Christoffel, Hamisi, atau Souhoka melainkan Johannes Rotikan dari Minahasa.
Adranus Lohy – Pembunuh Patuan Nagari dan Patuan Anggi
Adranus Lohy (juga dieja Lohij) lahir pada tahun 1875 di Samasuru (Pulau Seram). Pada tahun 1896, ia mendaftar sebagai tentara KNIL di Saparua (Maluku Tengah) dengan nomor stambuk 53734 (Gent 1923a: 73). Tahun 1901, Lohy terlibat dalam pertempuran di Aceh (Sumatra-Bode 29-03-1902; Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië 25-03-1902), dan pada tahun 1907 ia bergabung dalam patroli Christoffel untuk menangkap Singamangaraja. Lohy meninggal pada tahun 1914 pada usia 38 tahun.
Pada tanggal 24 April 1907, Christoffel mengirim telegram yang melaporkan bahwa Ompu Raja Doli, ayah dari Ompu Babiat Situmorang, beserta anggota keluarganya ditahan. Ompu Babiat adalah ayah kandung pujangga Sitor Situmorang, serta seorang teman seperjuangan sekaligus kerabat Ompu Pulo Batu, Singamangaraja yang terakhir.
Di Lintong, beberapa orang ditangkap: 1. Ompu Raja Boli [Doli] dari Lintong, ayah dari Ompu Babiat [Situmorang]; 2. Ama Raja Huala, saudara Ompu Babiat, beserta istri dan anak-anak Ompu Babiat, ibunya, serta ipar perempuannya dengan tiga anak. Ompu Babiat berhasil melarikan diri. Mereka yang ditangkap sementara ditahan di Sidikalang. Jika Ompu Babiat tidak menyerahkan diri, mereka akan dikirim ke Tarutung. Satu senjata api jenis Voorlader juga disita (Soerabaijasch handelsblad 06-05-1907).
Adranus Lohy (atau Lohij), bersama dengan Rotikan, dianugerahi medali kesatria Orde Militer Willem kelas 4, penghargaan tertinggi dan tertua dari Kerajaan Belanda. Penganugerahan ini terkait dengan peristiwa penangkapan Ompu Doli Situmorang dan pembunuhan Sutan Nagari, putra sulung Singamangaraja.
Pada 24 April 1907 salah satu brigade bertemu dengan ‘gerombolan’ di Lintong. Di dalam beslit kerajaan tertanggal 7 Maret 1908, No. 55 marsose Ambon Lohij dianugerahi “karena keberanian, kebijaksanaan, ketekunan serta kesetiaan dalam menjalankan tugas”. Berkat tindakannya maka Ompu Raja Boli [Doli] dari Lintong, ayah Ompu Babiat yang terkenal sebagai pemimpin pemberontak, berhasil ditangkap dan anak sulung Singamangaraja, Sutan Nagari, dibunuh, sementara senjata apinya model M95 dirampas (Klein Nagelvoort 2017).
Mengenai pembunuhan Singamangaraja dan anaknya, Sutan Nagari, van Gent menulis:
Akan tetapi Rotikan tak bergerak dari tempatnja, hanja Si Singamangaraja djatoeh kena témbak dihadapannja. Soetan Negeri [Sutan Nagari], anak Si Singamangaraja jang soeloeng, djatoeh kedalam tangan brigade jang lain. Disana jang terseboet ketjakapannja, jaïtoe A. Lohy no. 53734, sedang pihak peroesoeh jang mati, 2 orang anak Si Singamangaraja dan 4 orang pengiringnja (Gent 1923: 65).
Meskipun tidak dinyatakan secara terang-terangan bahwa Lohy membunuh kedua anak Singamangaraja dan empat pengikutnya, keikutsertaan Lohy dalam brigade tersebut dan penghargaan yang diterimanya menunjukkan bahwa dia mungkin bertanggung jawab atas kematian Sutan Nagari dan Patuan Anggi.
Dalam artikel “Het sneuvelen van Si Singa Mangaradja” di Tijdschrift van het Koninklijk Nederlands Aardrijkskundig Genootschap (TKNAG) tahun 1944, terdapat sebuah foto dari koleksi W.K.H. Ypes (KITLV 81624) yang diambil setelah wafatnya Singamangaraja. Foto tersebut menampilkan ibu kandung Singamangaraja, boru Situmorang, bernama Si Harean dengan gelar Rohahuahon, yang meninggal awal tahun 1908 di rumah sakit di Pea Raja, Silindung (Bataviaasch handelsblad 05-02-1908). Ia duduk di kursi rotan, diapit oleh para istri dan anggota keluarga lainnya, dengan beberapa anggota korps marsose berdiri di latar belakang. Foto tersebut diambil pada tahun 1907 di Siborongborong.
Selain foto tersebut, Klein Nagelvoort (2017) menemukan foto lain (KITLV 81623) dari koleksi W.K.H. Ypes yang tidak dimuat di dalam artikel TKNAG. Kedua foto hampir persis sama, kecuali bahwa pada foto KITLV 81623 yang tidak dipublikasikan, terdapat satu lagi anggota marsose yaitu Adranus Lohy.
Mengapa justru foto 81624 tanpa Adranus Lohy yang diterbitkan? Hans Christoffel pun tidak ada di dalam foto tersebut, hanya bawahannya, J.H. van Temmen. Klein Nagelvoort (2017: 54) menduga bahwa foto dengan Lohy dijepret duluan, dan bahwa untuk pengambilan foto kedua Lohy disuruh keluar dari foto.
Klein Nagelvoort menduga bahwa foto ini dipilih untuk mencerminkan versi resmi pemerintah perihal pembunuhan Singamangaraja: Beliau gugur karena menolak menyerah, dan tiada yang bertanggung jawab atas kematiannya.
Para saksi mata peristiwa pembunuhan Singamangaraja tidak pernah bercerita (atau mungkin dilarang bercerita) apa yang sesungguhnya terjadi. Bahkan dalam buku yang membahas sejarah marsose, perihal kematian Singamangaraja jarang dibahas. Tampaknya seolah-olah pembunuhan Singamangaraja merupakan hal yang sebaiknya cepat dilupakan.
Pemerintah kolonial merasa puas dengan hasil kerja Kapten Christoffel. Sebagaimana diberitakan oleh Nieuwsblad van het Noorden tertanggal 22 Juni 1907: “Sekarang, setelah kematian Singamangaraja, tidak perlu lagi kita hiraukan bagaimana kiranya peranan Singamangaraja yang harus kita berikan kepadanya di masa depan.” Sementara harian terbitan Batavia Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie tertanggal 21-06-1907 mengungkapkan rasa syukur atas gugurnya Singamangaraja:
Singamangaraja yang begitu lama dicari sudah tidak ada lagi; pengikutnya telah gugur bersamanya atau jatuh ke tangan kami… Kapten Christoffel yang mulia, atas kepemimpinannya, kesetiaannya, keberaniannya, kecerdasannya, ketajaman, inisiatif, dan keteguhannya yang telah mencapai hasil cemerlang bagi daerah-daerah di Sumatera.
Rakyat Belanda serta warga Hindia Timur, mengucapkan terima kasih padanya…….
Kesimpulan
Kematian Singamangaraja yang terakhir, seorang raja imam yang dihormati dan dipuja oleh sebagian masyarakat Batak, menandai babak yang kompleks dan penuh perdebatan dalam pendirian kekuasaan kolonial Belanda di Sumatra Utara. Perlawanan Singamangaraja bukan terutama bersifat material, tetapi spiritual, yang menginspirasi rakyat Batak untuk menentang otoritas Belanda, sehingga penangkapannya dianggap penting bagi Belanda demi terwujudnya Pax Neerlandica.
Berbagai kisah tentang kematian Singamangaraja yang beredar sering saling bertentangan dan mencerminkan perspektif kepentingan yang berbeda-beda, mulai dari laporan resmi militer Belanda hingga narasi pribadi dari orang-orang terdekatnya, seperti putrinya Rinsan. Laporan resmi, seperti yang disampaikan oleh Letnan Satu J.H. van Temmen dan Kapten Hans Christoffel, menunjukkan bahwa Singamangaraja dibunuh karena menolak menyerahkan pedangnya. Namun, paparan Rinsan menantang versi resmi, dengan menunjukkan bahwa ayahnya sudah menyerah ketika ditembak, sehingga niat dan tindakan pasukan Belanda yang terlibat perlu dipertanyakan.
Penelaahan kritis terhadap peristiwa tersebut, termasuk penganugrahan penghargaan bergengsi Orde Militer William kepada marsose Lohy dan Rotikan, mendukung hipotesis bahwa Belanda tidak berniat menangkap Singamangaraja dalam hidup-hidup. Apalagi mengingat bahwa pemerintah kolonial justru memilih Christoffel sebagai komandan ekspedisi militer yang terkenal bengis dan tidak mengenal ampun sehingga versi resmi terasa seolaholah direkayasa.
Meskipun terdapat berbagai versi yang keliru yang mengaitkan pembunuhan Singamangaraja dengan tokoh seperti Christoffel atau Hamisi dari Ambon, terdapat cukup banyak bukti yang menunjukkan bahwa Rotikan, seorang marsose asal Minahasa, yang membunuh Singamangaraja.
Kenyataan bahwa terdapat berbagai versi yang saling bertentangan menunjukkan betapa pelik membedakan kebenaran sejarah dari lapisan mitos, bias pribadi, dan propaganda resmi.
Wafatnya Singamangaraja melambangkan antagonisme antara kekuatan kolonial dan perlawanan pribumi. Setelah kekuasaan asing ditegakkan sering terjadi penghapusan atau distorsi sejarah dan upaya untuk melupakan para “pemberontak”. Oleh karena itu, warisan Singamangaraja tidak hanya melambangkan perlawanan masyarakat pribumi, tetapi juga mengingatkan kita atas pentingnya mencermati suara masyarakat pribumi dalam menghadapi penjajahan.
᯼
Catatan Kaki
(1) Di dalam terminologi pasukan kolonial KNIL semua serdadu dari Sulawesi, Kepulauan Maluku dan sekitarnya disebut “Ambon”.
Daftar Pustaka
Dada Meuraxa. 1973. Sejarah kebudayaan suku-suku di Sumatera Utara. Medan : Sasterawan.
Gent, Lambertus Franciscus van. 1923. Nederland–Menado (1896-1921). Dimelajoekan oleh Balai Poestaka. Weltevreden: Balai Poestaka.
Gent, Lambertus Franciscus van. 1924. Nederland–Ambon (1896-1921). Dimelajoekan oleh Balai Poestaka. Weltevreden: Balai Poestaka.
Kempees, J.C.J. 1905. De tocht van overste van Daalen door de Gajo-, Alas- en Bataklanden van 8 februari tot 23 juli 1904. Amsterdam: J.C. Dalmeijer.
Klein Nagelvoort, J. 2017. “Hoe stierf de laatste Batakkoning?”. Geschiedenis Magazine Nr. 1: 52–54.
Lumbantobing, Adniel. 1951. Sedjarah Si Singamangaradja I-XII: : Radja Jang Sakti, pahlawan Indonesia jang gagah perkasa. Medan.
Lumbantobing, Arsenius. 1931. Si Singa-Mangaradja. Hinaroearhon ni anakna Maroeliamin Lumbantobing. 102 hlm. Sibolga : Haroen Philemon Bin Siregar.
Meerwaldt, J.H. 1908. “De laatste Singamangaradja”. De Rijnsche Zending 1908: 2–11; 82–88; 98–100; 113–120.
Nainggolan, Sahat M. 1959. Djasa dan perdjoangan Radja Singamangaradja XII, 1846–1907 : pahlawan nasional. Dorcas Br. Napitupulu.
Napitupulu, O.L. 1971. Perang Batak: Perang Sisingamangaradja. Djakarta: Jajasan Pahlawan Nasional Sisingamangaradja.
Neumann, J.H. 1918. ”De Perhoedamdam in Deli” Mededelingen van wege het Nederlandse Zendelinggenootschap No. 62: 185–90)
Okamura. 1945. Perdjoeangan Singamangaradja jang ke 12. Balatentara Pertahanan Soematera Oetara.
Pusztai, Gábor. 2012. “De identiteit van het vreemde: Fictie en non-fictie in het verhaal “Kapitein Christoffel” van László Székely”. Werkwinkel 7 (1). Hlm. 61–71.
Sibarani, Augustin. 1980. Perjuangan Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII. Jakarta: Bona Tora Jaya.
Sidjabat, W. Bonar. 1982. Ahu Si Singamangaraja: Arti Historis, Politis, Ekonomis dan Religius Si Singamangaraja XII. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Simbolon, Parakitri Tahi. “Menatap Singamangaraja XII di Panggung Sejarah: Untuk Peringatan 100 Tahun Gugurnya Pahlawan Nasional Raja Singamangaraja XII”. Medan 2 Juni 2007).
Stevens, Harm. 2007. “G. C. E. van Daalen, Military Officer and Ethnological Field Agent – The Ethnological Exploration of Gayo and Alas, 1900-1905”. Colonial Collection Revisited, Pieter ter Keurs ed., p. 115-122
Stevens, Harm, Jos Stoopman, & Pauljac Verhoeven. 2010. De laatste Batakkoning: koloniale kroniek in documenten 1883–1911. Arnhem: Museum Bronbeek.
Tampoebolon, Radja H.A.m. 1944. “Het sneuvelen van Si Singa Mangaradja”. Tijdschrift van het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap Amsterdam, 2* série, vol. LXI: 459–482.
Temmen, J.H. van. 1929. Aanhangsel van het Voorschrift voor de Uitoefening van de Politiek-Politioneele Taak van het Leger. Uitgave 1929. Weltevreden. Hlm. 69–76.